Senin, 23 Januari 2017

Lotta, Dulu Ibukota Kakaskasen










Oleh: Adrianus Kojongian









Ruas jalan Tondano-Tomohon-Manado awal melalui Kali dan Lotta. *).









Banyak orang mengenal Lotta sekarang sebagai pusat Kateketik Keuskupan Manado atau lokasi makam pahlawan nasional Tuanku Imam Bondjol. Lain dari itu tak ada pembeda, persis tipikal desa-desa Minahasa umumnya. Apalagi, desa kecil di Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa ini baru memperoleh status desanya 2012 lalu.

Sebenarnya, Lotta masa lalu sangat istimewa. Pernah menjadi salah satu negeri besar Minahasa, sebagai pusat pemerintahan dan ibukota dari Balak lalu Distrik Kakaskasen, dengan ‘dinasti’ Parengkuan sebagai penguasa turun-temurun. Tinggalan negeri tua ini sekarang hanyalah waruga-waruga dari para mantan pemimpinnya.

Distrik Kakaskasen tumbuh dari pemukiman Maiesu di Kinilow tua Kecamatan Tomohon Utara sekarang, dan telah berganti-ganti ibukota. Awalnya pindah di Kakaskasen dari Maeisu, lalu ke Kali, sekarang desa di Kecamatan Pineleng yang di tahun 1619 memunculkan kepala disebut bernama Bungkar atau Wongkar atau Wangkar yang dicatat Pater Blas Palomino sebagai ‘raja’, masih alifuru.

Kesewenangan Spanyol berakibat perang pengusiran bangsa tersebut dari Minahasa tanggal 10 Agustus 1644, yang menyebabkan Pater Lorenzo Garralda terbunuh di Kali (namanya sekarang diabadikan Katolik di Lotta). Pahlawan-pahlawan Kakaskasen ketika itu adalah Wongkar Sayow (yang waruganya dihadis ada di Lotta), kemudian Worung, Rumondor dan Tombokan. Mengkhawatirkan serangan balasan Spanyol, penduduk telah kembali ke Kakaskasen di Tomohon sekarang.

Kepala Kakaskasen terkenal kemudian adalah Lontaan yang dihikayatkan bersama Supit, Paat dan Lontoh telah pergi ke Ternate mengundang Belanda. Di Kakaskasen induk ini, para kepala silih berganti di tangan Kalalo, Sulu dan di tahun 1730 Parengkuan.

Masa Parengkuan inilah ibukota Balak Kakaskasen dipindahkannya ke Lotta yang dianggap strategis, dekat dengan Manado.Tahun 1760 Kepala Balak Kakaskasen dipegang Mainalo Parengkuan yang disebut Sangian, kemudian tahun 1790 Pangemanan dan awal tahun 1800-an Masairi ‘Sahiri’ Parengkuan yang juga disebut Mainalo yang sangat terkenal.

DUA KAMPUNG
Lotta dimasa Majoor Mainalo maju pesat, penduduk dipindahkannya dari negeri tua ke lokasi lebih baik lagi. Pahlawan-pahlawan terkenalnya ketika itu antara lain Runtulalo, Lawit Lambot dan Lawit Potot. Permusuhan berlarut dengan tetangganya di kawasan Manado sekarang, Bantik, berakhir ketika ia memperistri putri Bantik bernama Wawu Konda.

Majoor Mainalo telah menjadi Kristen dan ditemui Rasul Maluku Josef Kam April 1817 dan ditulis dengan nama Nallo atau Mali. Ia pun membantu para pejuang Minahasa pada perang melawan Belanda di Tondano 1808-1809. Ia telah memerintah Balak lalu Distrik Kakaskasen di Lotta hingga diganti berturut oleh beberapa anaknya, dimulai Alfrets Parengkuan.

Sejak tahun 1830-an Lotta mulai dijadikan tempat buangan pejuang-pejuang anti-Belanda, diawali para pejuang asal Lampung, kemudian dari Aceh dan paling terkenal Tuanku Imam Bondjol di tahun 1841 dari Sumatera Barat. Salah seorang putri Frederik Parengkuan yang juga menjadi Kepala Distrik Kakaskasen bernama Wilhelmina telah diperistri penjaga Tuanku Imam Bondjol, yakni Kopral Apolos Minggu, masuk Islam bernama Yunansi, dan kelak menurunkan Islam di Pineleng.

Lotta sendiri akibat peristiwa gempabumi Februari 1845, dipindah bergeser tidak jauh (baca: 1845, Gempa Menghancurkan di Minahasa). Graafland menggambarkan di tahun 1850-an Lotta sebagai satu negeri dengan kedududukan baik dan agak bersih. Terdapat satu rumah negeri yang baik, rumah kalakeran atau pasanggrahan. Juga gereja kecil yang bagus, dengan sebagian besar penduduk telah beralih menganut agama Kristen, sementara sekolahnya mempunyai banyak murid.

Graafland masih mencatat di tahun 1874 ibukota Distrik Kakaskasen Lotta ini terbagi dua kampung, yakni Lotta-timu berpenduduk 314 jiwa dan Lotta-amian 307 jiwa. Seluruh penduduk Lotta adalah 621 jiwa. Penduduknya bertani, menghasilkan rempah dan sayur yang dijual di Manado. Negeri lain distrik ini adalah Kakaskasen, Tateli, Koha, Koka, Warembungan, Tinoor, Kinilow dan Kayawu. Bekas negeri induk di selatan, yakni Kakaskasen dijadikan distrik kedua dipimpin seorang bertitel Hukum Kedua.

Dinasti Parengkuan terakhir yang memerintah Distrik Kakaskasen adalah Paul Frederik Parengkuan. Kemudian berturut-turut Nicolaas Willem Wakkary 22 Desember 1886, Willem Walangitang 18 Januari 1896, Willem Albert Ticoalu 4 Agustus 1901, Frederik Andries 11 November 1903, dan terakhir Robert Johan Pelenkahu 26 April 1905 (Baca pula: Para Kepala Tomohon dan Tentang Kepala Minahasa).

KISAH PALANTUNG
Penulis Pineleng, E.R.T.Palantung mempunyai kisah sendiri soal pendirian Lotta. Menurutnya, Lotta didirikan oleh Tonaas Lumanauw, putri tiri Kepala Kakaskasen bernama Palantung. Ibu dan ayah Lumanau asal Remboken. Ayahnya telah terbunuh dalam konflik Remboken-Tondano. Ibunya kemudian diperistri Palantung. Karena Lumanau disayangi, tongkat simbol kepala diserahkan Palantung kepadanya.

Lumanau memperistri Wawu Tambengi atau Bulai dari Kinilow yang orang tuanya sebenarnya menjadi pemukim pertama di Lotta. Setelah meninggal, Lumanau digantikan anaknya Siwi, lalu Siwi diganti anaknya Mainalo Sahiri Parengkuan setelah Mainalo menjatuhkan kakaknya bernama Palantung yang lemah.

KOLERA
Peran Lotta sebagai pusat pemerintahan habis, ketika Distrik Kakaskasen di tanggal 8 Oktober 1909 dihapus. Wilayahnya di bagian selatan, yakni bekas Onderdistrik Kakaskasen dengan negeri-negerinya digabung dengan Distrik Tomohon, dan sisanya dengan Distrik Manado. 

Lotta sendiri ditinggalkan penduduknya di tahun 1911 ketika berjangkit wabah penyakit kolera yang menelan korban jiwa cukup banyak. Penduduknya pindah dan mendirikan Pineleng yang kemudian menjadi ibukota kecamatan. Ruas jalan dari Tondano-Tomohon-Manado yang sebelumnya melewati Lotta dari Kali berpindah pula ke Pineleng. Dari Pinelenglah, masa Jepang, terutama di masa Permesta, penduduk mulai kembali menghuninya, sehingga sekarang ini berbentuk desa kembali.  ***


*).Lukisan S.A.Buddingh, koleksi Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin.

BAHAN OLAHAN:
Graafland, N. Inilah Kitab Deri Hal Tanah Minahasa.
Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini, terjemahan Yoost Kullit, 1987
Kojongian, A., Riwayatmu Tomohon, 1986.
Tomohon Kotaku, 2006.
Palantung, E.R.T. Sejarah Pineleng, ketikan,
Taulu, H.M., Sejarah Minahasa, 1955.
Watuseke, F.S., Sejarah Minahasa, 1962.
              Artikel publikasi Watuseke di media Manado. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.