Oleh: Adrianus Kojongian
Sketsa
A.J.Bik koleksi Rijksmuseum Nederland di
atas, merupakan lukisan paling detil yang menggambarkan pusat kota Tondano
berhiaskan tiang-tiang kayu, di tahun 1821, atau sekitar seratus sembilan
puluh tiga tahun silam. Rumah-rumah panggung khas Minahasa, terlihat
mengelilingi bangunan loji bertangga dua yang menjadi kantor sekaligus rumah kediaman Opziener
Tondano bernama (J.B.) Weidemuller (Weydemuller), dimana bendera tiga warna
Belanda terlihat berkibar megah di bubungan.
Sangat
khas tangga-tangga rumah penduduk, termasuk Loji Opziener, bukan berada di
bagian depan seperti lazimnya membudaya kemudian, tapi justru di bagian
samping. Sebuah bangunan kecil di sampingnya bisa jadi adalah rumah jaga.
Loji
Opziener diapit oleh sungai (Tondano), serta kemungkinan sebuah anak sungainya
atau selokan, dengan penghubung dua jembatan kecil, sehingga pastinya bukan
Loji Tondano yang ada sampai sekarang di Kelurahan Rinegetan Kecamatan Tondano
Barat. Namun, lokasinya pasti tidak terlalu jauh, masih di kawasan stad
Tondano, mendekati aliran sungai Tondano.
Bangunan
besar di bagian belakang Loji Opziener justru hampir mirip dengan Loji yang
pernah berdiri di pekarangan Kantor Bupati Minahasa Jalan Sam Ratulangi di
Kelurahan Wawalintouan. Namun, Loji Tondano yang oleh Bupati J.O.Bolang dijadikan
Museum Minahasa, baru didirikan Kepala Distrik Tondano-Touliang Majoor Dirk
Ratumbuysang tahun 1840-an, meski versi lain sudah ada sejak tahun 1824, dibangun Kepala Balak Tondano-Touliang
Matulandi.
Dapat
dipastikan pemukiman penduduk, termasuk loji Opziener dalam sketsa Bik, semuanya
menghadap ke timur, sehingga pemukiman yang dilukis A.J.Bik menggambarkan pemandangan
negeri Tondano di bagian Touliang. Pembagian wilayah Tondano ketika itu,
sebelah barat sungai Tondano (sungai
Temberan) merupakan daerah kekuasaan Balak Tondano-Touliang, dan sebelah
timurnya masuk wilayah Balak Tondano-Toulimambot.
Balak
Tondano-Touliang mencakup negeri-negeri: Wewelen, Watulambot, Rerewokan,
Wawalintouan, Tounkuramber, Rinegetan, Tuutu, Roong, Koya dan Tataaran. Lalu
negeri masuk Balak Tondano-Toulimambot terdiri Luaan, Ranowangko-atas, Wengkol,
Kendis, Katinggolan, Liningaan, Taler, Kiniar dan Papakelan.
Tondano
di tahun 1821 baru berumur sekitar sebelas tahun, setelah Residen Inggris
Thomas Nelson memindahkan Tondano ke hilir dari bekas negeri lama di pulau
delta Minawanua. Tondano lama dihancurkan dan dibakar habis Kapten Lodewijk Weintre
dalam perang Minahasa di Tondano 1808-1809. Penduduk kemudian membangun
rumah-rumahnya di sebelah-menyebelah sepanjang aliran hingga ke dekat muara
sungai Tondano, entah karena mereka masih mengenang rumah-rumah panggungnya yang
tegak berdiri di pasang air Danau Tondano di Minawanua.
Lukisan
kedua A.J.Bik memperlihatkan bagian lain pemukiman yang berada di pinggiran
sungai Tondano pula, dengan latar jauh tertampak bendera, bangunan-bangunan
besar dan barisan bukit-bukit kecil Pegunungan Lembean. Boleh dipastikan objeknya
tidak terlalu berjauhan dengan posisi Tondano dalam sketsa. Bik kemungkinan
melukiskannya dari arah seberangnya di Touliang, sehingga pemandangan bagian
Tondano-Toulimambot yang terlihat, bisa jadi di Wengkol. Kebalikan dari sketsa,
posisi rumah dalam lukisan tidak beraturan, namun tangga 2 rumah di seberang
sungai terlihat menghadap ke timur.
Uniknya,
adalah waruga-waruga masih berada di pekarangan. Tradisi Minahasa masa itu memang
masih memakamkan keluarga meninggal di kintal rumahnya. Lukisan Bik yang kedua ini
memperlihatkan perbedaan pada tinggi tiang rumah, sementara dalam sketsa,
tiang-tiang bangunan meski besar tidak setinggi yang ada dalam lukisannya.
Dapat ditebak, karena antisipasi sewaktu-waktu menghadapi luberan dan banjir
Danau Tondano.
Karena
posisi lukisan A.J.Bik berada di stad Tondano, maka kemungkinan besar Loji
Opziener di tahun 1821 berada di lokasi yang masa itu masuk Wawalintouan. Namun
melihat tampilannya seperti berada di sebuah tonjolan tanah di tepi sungai,
lokasinya lebih pas berada di Kelurahan Ranowangko sekarang, berdekatan Kantor
Pegadaian Tondano.
Sungai
Tondano ketika itu tampak masih sangat jernih, dalam dan lebar. Air luberannya mencapai rumah-rumah
penduduk di kedua tepi. Terlihat dalam sketsanya dua pria tengah berperahu bolotu, di dekat –mungkin-- pangkalan
perahu. Kemungkinan, ketika Bik melukis Tondano, Danau Tondano sedang meluap
dan terjadi banjir, karena ketika itu tengah bulan Oktober, biasanya merupakan musim
penghujan.
Pada
lukisan kedua A.J.Bik, waruga-waruga masih berada di pekarangan rumah. Bik
tertarik pula dengan pekuburan khas penduduk Minahasa, sehingga ia menjadikan
sejumlah waruga sebagai objek lukisnya.
Salah
satu dari waruga lukisannya menunjukkan sang meninggal adalah seorang tokoh
yang wafat belum lama berselang. Waruganya dipakaikan katu, berhiaskan topi kuningan Portugis, loto, payung simbol kebesaran, guci porselin dan barang khas lain milik
si meninggal.
Sepertinya
kerusakan waruga di Tondano telah terjadi sejak sebelum tahun 1821. A.J.Bik
melukis pula waruga kosong yang terpisah dari penutupnya.
Tidak
diketahui pasti apakah A.J.Bik menyempatkan diri mengunjungi pemukiman tua Tondano
di Minawanua yang memiliki ratusan waruga. Soalnya, di masa itu waruga masih gampang
ditemui di mana-mana pemukiman penduduk Tondano dan Minahasa umumnya, yakni di
pekarangan rumah penduduk.
LIMA HARI
Adrianus Johannes Bik (1790-1872),
adalah seorang pelukis terkenal di Hindia-Belanda. Ia antara lain melukis wajah
Pangeran Diponegoro. A.J.Bik bersama adiknya Jannus Theodorus Bik (1796-1875)
--yang juga pelukis--, ikut dalam perjalanan Prof.Dr.Caspar Georg Karl
Reinwardt, Direktur Pertanian, Seni dan Pendidikan untuk Pulau Jawa. Reinwardt
dikenal juga sebagai pendiri dan pemimpin pertama Kebun Raya Bogor.
Selama ekspedisi Reinwardt ke
Indonesia Timur dari 27 Februari 1821 sampai 26 Juni 1822, Bik melukis berbagai
pemandangan, barang antik, penduduk setempat, termasuk pohon dan tanaman. Beberapa
sketsa dan lukisan karya Bik tentang Manado (Minahasa) merupakan koleksi
Rijksmuseum Volkenkunde di Leiden Negeri Belanda.
Dalam
bukunya Reis naar het Oostelijk gedeelte
van den Indischen Archipel in het jaar 1821, yang juga memuat
lukisan-lukisan Bik, Reinwardt (1773-1854) menulis tiba di Tondano melalui
Tataaran dan Koya dari Tomohon pada tanggal 19 Oktober 1821. Ia disambut oleh
Opziener Tondano, Komandan Weidemuller, serta para Hukum dan penduduk. Ketika
tiba di rumah Oud Hukum yang berada di tengah-tengah negeri, rumah yang jadi
tempat Reinwardt menginap selama di Tondano, kerumunan orang dan para Hukum dengan
berbagai atribut segera memenuhi pula. Melihatnya, Reinwardt menyimpulkan bahwa
Tondano jarang dikunjungi orang Eropa.
Sangat mungkin Oud Hukum dimaksud
Reinwardt adalah Kepala Balak Tondano-Touliang Matulandi yang memerintah tahun
1817-1829. Sementara Kepala Balak di Tondano-Toulimambot adalah Korengkeng.
Keduanya menggantikan Kepala Balak Tondano bersatu Majoor Jacob Mantilen Supit
yang memimpin Tondano setelah pindah dari negeri lama Minawanua 1810.
Majoor Jacob Supit kemungkinan telah
meninggal dan waruganya dipercayai berada di dekat selokan sungai Tondano, di
tempat sekarang berdiri SMP Negeri 1 Tondano di Kelurahan Liningaan Kecamatan
Tondano Timur. Bisa jadi salah satu lukisan waruga A.J.Bik, adalah kuburannya
itu.
Rumah-rumah
di Tondano dicatat Reinwardt sangat besar dan luas, dengan tiang tinggi dan
balok-balok berat. Terutama, rumah Oud Hukum dimana ia tinggal, menurut
Reinwardt, memiliki penampilan yang sangat baik dan pasti yang terbaik dari
seluruh tempat di Tondano.
Namun,
dari temuannya, ditambahkan Reinwardt ketika ia mengamati lebih jauh, gambaran
bagus itu tidaklah memenuhi penampilan cantik. Digambarkannya, seperti umumnya
rumah-rumah Minahasa, di tengah adalah bagian utama dari rumah. Selain kecil,
ruang sempit, tanpa furnitur selain ranjang. Lebih jauh lagi, jendela kecil
yang tebal, dekat satu sama lain. Lubang persegi di lantai untuk membuang kotoran,
pintu tanpa kunci dan hanya sepotong kain untuk pemisah satu sama lain.
Kemudian di seberang pintu melalui galeri rumah, sebuah portal kecil berada
dapur-dapur.
Ketidaknyamanan
lain rumah-rumah besar di Tondano, diungkap Reinwardt pula, karena letaknya
berada di tengah jalan, dan jarang dikelilingi pagar halaman. Lalu ketika
meninggalkan rumah, tangganya curam, sehingga banyak menimbulkan kecelakaan
bagi anak-anak.
Jalan-jalan
semua sangat luas dan secara keseluruhan sangat bersih, tetapi dengan banyak
ruang di bawah rumah, hal ini jarang terjadi. Pemandangan bertolak belakang,
justru terlihat sampai ke ujung tempat rumah-rumah di sepanjang sungai
dibangun. Terutama di dekat danau, yang berawa-rawa dan selalu dilanda banjir, menurut
Reinwardt, penampilannya sangat tidak menguntungkan dan lusuh. Rumah-rumah
kecil di tempat itu sangat buruk dan menggambarkan kemiskinan penduduknya.
Lokasinya banyak tidak dapat diakses dengan berjalan kaki, tapi harus melalui
air dan lumpur menggunakan bolotu (ditulisnya bloto), perahu kecil yang dibuat
dari batang pohon.
Reinwardt menyinggung pula tentang
negeri lama Tondano di Minawanua, dengan sisa-sisa pertempuran dan
pembumihangusan yang dilakukan Kapten Lodewijk Weintre di tahun 1809 berupa puing-puing tiang-tiang tinggi rumah panggung penduduk
di atas air. Tondano lama dikalahkan setelah pengepungan sembilan bulan.
Penduduk dilarang kembali ke Minawanua, dan harus membangun rumah di daratan.
Reinwardt
dan rombongannya meninggalkan Tondano lewat Danau Tondano pada hari Rabu tanggal
24 Oktober dengan menggunakan perahu bolotu menuju Remboken. ***
*Foto Koleksi Rijksmuseum dan repro buku Reinwardt
BAHAN OLAHAN
-C.G.C.Reinwardt, Reis naar het Oostelijk gedeelte
van den Indischen Archipel in het jaar 1821. (ebook
Google)
-Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.