Oleh: Adrianus Kojongian
Letnan Dua (lulusan) tahun 1912. *) |
BUKAN hanya ada Dokter Djawa, lulusan sekolah perwira pribumi pertama di Indonesia digelari Litnan-Djawa. Litnan dari kata Belanda Luitenant. Penyebutan Djawa adalah untuk pembedaan kelas dan derajat pribumi dengan orang Belanda. Ini pun sebagai pembeda antara Cursus tot Opleiding van Inlandsche Officieren, demikian nama sekolah perwira pribumi tersebut, dengan lulusan Militaire School yang perwiranya meski sama memperoleh pangkat Letnan Dua, namun dengan status berbeda, baik dalam gaji, dan juga posisi yang dapat dicapai.
Militaire
School untuk mendidik perwira-perwira KNIL, meski sempat ditutup Juli 1896,
telah ada sejak bulan Oktober 1852. Sementara
desakan untuk pengadaan sekolah perwira khusus untuk pribumi Hindia-Belanda baru berkembang dekade akhir abad ke-19.
Dengan keputusan pemerintah (Gouvernementsbesluit)
tanggal 10 Mei 1907, berdiri Cursus tot Opleiding van Inlandsche
Officieren, mendompleng di Militaire School yang berada di Meester Cornelis
(Jatinegara sekarang). Mendompleng karena kemudian para direktur dan tenaga
pengajarnya merangkap tugas di Militaire School pula.
Militaire School tahun 1910. *) |
Meski
kalah rang dari Militaire School, para siswa Cursus tot Opleiding van Inlandch
Officieren adalah merupakan nyong-nyong
dari keluarga aristokrat Jawa, dan Manado. Pengumuman penerimaan siswa yang
diedarkan di seluruh Indonesia jauh-jauh hari ketika itu, yakni sejak awal
bulan Januari 1907, menspesialkan calon siswa dari Jawa, Ambon dan Manado
(Minahasa).
Persyaratan
siswanya adalah berusia 16 tahun dan belum mencapai serta melebihi 20 tahun
untuk lama pendidikan tiga tahunan. Tidak diketahui pasti berapa banyak
pendaftar dan dari daerah mana saja yang telah ikut tes ketika itu. Tapi,
kemudian berhasil lolos tes penerimaan dapat diketahui adalah dari Jawa,
sebanyak empat siswa.
Cursus
tot Opleiding van Inlandsch Officieren resmi dibuka tanggal 1 Juli 1907. Menurut
berita harian Het Nieuws van den Dag voor
Nederlandsch-Indie tanggal 18 Juni 1907, keempat siswa tersebut,
masing-masing adalah: Raden Santasa (Santosa), Raden Mardjono, Raden Wardiman dan
Raden Padmawinangoen.
Tahun
1908, baru orang Manado (Minahasa) ikut seleksi Sekolah Perwira Pribumi ini.
Bahkan tercatat ada sebanyak lima pemuda Minahasa yang telah mendaftar. Kelima
nyong Minahasa ini merupakan putra-putra para kepala dan tokoh terkemuka
Minahasa. Mereka adalah: A.H.H.Kawilarang, J.W.Supit, B.Th.Walangitang,
F.K.Wawo Roentoe dan E.J.A.Gerungan. Rata-rata—dari famnya—berasal dari
Tondano. A.H.H.Kawilarang saat itu dicatatkan berdomisili di Buitenzorg, dan
sisanya di Manado (Minahasa).
Untuk
penerimaan siswa tahun ajar kedua 1908, Het Nieuws van den Dag voor
Nederlandsch-Indie 27 Maret 1908 memberitakan pembentukan komisi untuk ujian
masuk kursus. Sebagai ketua merangkap anggota Kapten H.J.de Voogt, Direktur
Cursus tot Opleiding van Inlandsch Officieren. Anggota: Kapten G.J.Velds,
pengajar kursus dan Letnan Satu P.D.Visser, pengajar Militaire School. Kemudian
Sekretaris Letnan Satu G.P.Hoekman, pengajar kursus.
Selain
lima kandidat dari Minahasa di atas, ada tujuh peserta lain asal Jawa yang ikut
tes penerimaan. Rata-rata dari Jawa Timur. Raden Mas Abdoelrachman, Raden
Saripodin, Raden Ka Djoedin, Raden Achmad alias Raden Nitiadikoesomo, Raden
Oerip alias Soemowinoto, Raden Ngabihi Moerakab serta Raden Soekardi.
Ujian
tes dilaksanakan di wilayah calon pelamar. Tujuh kandidat Jawa diuji komisi di
Surabaya. A.H.H.Kawilarang di Buitenzorg (sekarang Bogor), dan empat nyong Manado lain di tes
langsung di Manado.
Ternyata,
dari lima kandidat Manado, hanya dua orang yang diterima. A.H.H.Kawilarang dan
B.Th.Walangitang.
Tahun
1909, tidak diperoleh catatan kandidat yang berhasil diterima di Sekolah
Perwira Pribumi Mester Cornelis. Namun dari berita Het Nieuws van den Dag voor
Nederlandsch-Indie 17 Mei 1910 dicatat keberhasilan 3 siswa yang naik dari
tahun pelajaran pertama ke tahun kedua. Artinya tiga siswa berasal Jawa ini
yang diterima di tahun 1909. Mereka adalah: Raden Soeratman, Raden Mas Soepama
dan Raden Bagoes Soendjojo.
Letnan Dua (lulusan) tahun 1912. *) |
Selain
ketiga siswa berasal tahun 1909 tersebut, ikut dicatat koran ini, tes masuk
untuk tahun 1910 telah diikuti delapan kandidat. Namun, yang berhasil dan
diterima sebagai pelajar kursus hanya tiga orang, yakni: Raden Asmino, Raden
Soemarno dan Raden Sanjoto. Dua kandidat ditolak, satu telah ‘pensiun’ dan dua
lainnya belum memenuhi syarat.
ANGKATAN KEDUA
Cursus
tot Opleiding van Inlandsch Officieren pertama meluluskan perwiranya tahun
1910. Ujian akhir diperkirakan berlangsung bulan Mei, karena lulusannya telah
diumumkan koran saat itu. Aspirant-Inlandsche
Officieren Raden Mardjana, Raden Santosa dan Raden Wardiman mencatatkan
diri sebagai sersan leerlingen selama setidaknya tiga
bulan, sebelum dilantik resmi sebagai opsir pertama KNIL dari unsur pribumi.
Hampir semua koran Hindia-Belanda dan di
Negeri Belanda, seperti Java Bode, De Tijd, Nieuwe Roterdamsche Courant,
Algemeen Handelsblad, Bataviaasch Nieuwsblad, De Sumatra Post dan lain-lainnya memberitakan pelulusan dan pelantikan para
perwira pertama bangsa Indonesia tersebut.
Tanggal 12 Oktober 1910 Raden Mardjono (ditulis juga Mardjana atau Mordjana), Raden Santosa dan Raden Wardiman resmi dilantik
sebagai Letnan Dua Infanteri.
Kemudian, dua siswa Manado, yakni
B.Th.Walangitang dan A.H.H.Kawilarang lulus, dan dibenum sebagai Letnan Dua
Infantri di bulan Oktober 1911, sebagai lulusan angkatan kedua.
Rekan Jawa yang ikut dites tahun 1908 berkemungkinan tidak lulus. Umpama, Raden Oerip alias Soemowinoto, pasti berbeda dengan Raden Oerip (Soemohardjo) yang kelak menjadi Letnan Jenderal ketika Indonesia merdeka. Raden Oerip terakhir baru masuk tahun 1911 dan lulus tahun 1914.
Bulan
Oktober tahun 1912 dua sersan pelajar asal Jawa dari Sekolah Perwira Pribumi
kembali dilantik sebagai Letnan Dua Infantri. Raden Soeratman dan Raden Mas
Soepama (juga ditulis Soepono).
Tahun
1913, juga bulan Oktober, tiga lulusan. Yakni Raden Asmino, Raden Soemarno dan
Raden Sanyoto.
Oktober
1914, tiga (dari empat) sersan leerlingen dibenum sebagai Letnan Dua Infanteri,
Raden Mas Soegondo, Raden Oerip dan Raden Bagoes Soendjojo.
Total
sampai tahun 1914 ada 13 'Litnan-Djawa' yang dilantik sebagai letnan dua pribumi. Persentase lulusan Cursus
tot Opleiding van Inlandsch Officieren yang tiga letnan dua setiap tahunnya ini,
dikomentari sebuah koran besar masa itu, sebagai sudah sangat memadai dan cukup
besar. Itu, bila dibanding lulusan Koninklijk Militaire Academie dan Hoofdcursus yang
rata-rata hanya sekitar 24 orang.
GAGAL
TAPI JADI DOKTER
Kemana
tiga peserta tes kursus perwira pribumi asal Manado di tahun 1908 yang gagal
diterima tidak banyak diketahui. Koran-koran tidak memberitakan kabar
selanjutnya dari J.W.Supit dan E.J.A.Gerungan.
Namun, F.K.Wawo Roentoe berhasil menjadi terkenal di bidang lain, yakni sebagai dokter hewan. Gagal jadi opsir, ia melamar dan berhasil masuk sekolah dokter hewan, Inlandschen Veeartsenschool di Buitenzorg (Bogor). Bulan Agustus 1912 ia berhasil naik dari kelas tiga ke kelas empat. Artinya, Wawo Roentoe masuk sekolah tersebut di tahun 1910.
Namun, F.K.Wawo Roentoe berhasil menjadi terkenal di bidang lain, yakni sebagai dokter hewan. Gagal jadi opsir, ia melamar dan berhasil masuk sekolah dokter hewan, Inlandschen Veeartsenschool di Buitenzorg (Bogor). Bulan Agustus 1912 ia berhasil naik dari kelas tiga ke kelas empat. Artinya, Wawo Roentoe masuk sekolah tersebut di tahun 1910.
Lulus
sebagai dokter hewan berbagai jabatan penting disandangnya. Terakhir di bulan
Juni 1948 Dr.F.K.Wawo Roentoe yang telah pensiun diangkat kembali sebagai akting
kepala di Burgerlijke Veeartsenijkundige
Dienst (Pusat Jawatan Kehewanan).***
*). Foto
koleksi KITLV Digital Media Library.
BAHAN OLAHAN
Delpher
Kranten Koninklijk Bibliotheek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.