Oleh: Adrianus Kojongian
Teluk Kema 1913. Tanah yang dihadis dibuka leluhur Dotulong. *) |
Para kepala Minahasa tempo dulu kebanyakan adalah orang-orang kaya-raya. Mereka memiliki banyak harta benda, terutama adalah tanah yang luas, baik kintal mau pun kebun ladang atau sawah, rata-rata belasan hektar, bahkan di atas seratus hektar. Siapa pun tokoh yang memegang kekuasaan akan meninggalkan warisan tanah cukup luas kepada keturunannya.
Terkenal
umpama, Hukum Tonsea Wenas Lumanauw dan anaknya Runtukahu yang memiliki tanah-tanah
luas di Kema bahkan pulau Lembeh. Pulau Lembeh menjadi primadona, setelah
temuan dan eksploitasi sarang burung walet. Banyak pihak bahkan balak-balak
tetangganya memperebutkan dan mengklaim ikut memilikinya. Anak Runtukahu, Hukum
Mayoor Xaverius Dotulong, Kepala Balak
Tonsea gencar mengklaim berdasar kepemilikan dari ayah dan kakeknya. Xaverius Dotulong yang meninggal tahun 1771 sampai menyurat meminta
putusan Gubernur Maluku di Ternate tahun
1750 dan 1770. Klaim keluarga Dotulong atas pulau Lembeh ini tetap disuarakan
keturunannya Catrina Dotulong (1821-1902) tahun 1896, dan masih bergema sampai tahun
1980-an.
Kakas dari dulu kaya hasil dan orangnya. Foto tahun 1910. *) |
Kepala Balak Kakas Kalalo memiliki tanah dan kebun sawah sangat luas di Kakas. Ia merupakan orang yang kaya-raya di masanya. Tidak heran, hartanya mengundang para pemeras, termasuk Residen Manado George Fredrik Durr yang masa pemerintahannya (1793-1803) terkenal sangat buruk. Durr 'mendenda' Kalalo, membayar ganti rugi sebesar 1.000 gulden ditambah beberapa orang budak, gara-gara ia terperosok dari kursi tandunya yang sengaja dirusakkan.
Kepala
Balak Bantik Urbanus Matheos juga sangat kaya-raya, karena suka memeras rakyat.
Tahun 1808 ia menyetor pajak yang besar, yakni 300 rijxdaalders. Kepala Distrik Bantik Salmon Mandagi memiliki
tanah-tanah luas pula. Tanggal 14 Agustus 1871 ia menjual tanahnya di Mahakeret
Manado seluas 38.952 m2 dengan harga
1.200 gulden kepada rakyat Sonder atas nama Mayoor Albertus Bernadus
Waworuntu (1820-1887). Tanah mana kemudian menjadi tanah Kalakeran Distrik
Sonder di Manado.
Tanah
Uluindano (kini kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan) sempat memicu sengketa
panjang antar-Balak Tomohon dan Sarongsong. Kepala Balak Sarongsong Hukum
Mayoor Rondonuwu Lontoh dikenal sebagai pemilik Uluindano. Bukti kepemilikannya
berada dalam daftar kekayaan turun-temurunnya. Di masa berikutnya, Uluindano jatuh
jadi budel cucunya Lontoh Tuunan (2), malahan mencakup sebagian besar wilayah
Walian.
Lontoh
(1758-1817) lebih banyak berdiam di Kamasi bagian Balak Tomohon, malahan
dipilih menjadi Hukum Kamasi lalu kelak Kepala Balak Tomohon tahun 1803. Ia
memberi keleluasan kepada penduduk Kamasi untuk membuka lalu menggarap
tanah-tanah di Walian dan Uluindano yang bersipatan langsung dengan negeri
Lansot di Balak Sarongsong. Ini mengakibatkan timbulnya bentrokan-bentrokan
antar-balak Tomohon-Sarongsong yang diperintah keturunan Waworuntu, famili
dekat Lontoh Tuunan yang juga mengklaim kepemilikannya. Sengitnya persengketaan
masa itu berlarut-larut hingga pertengahan tahun 1850-an, ketika pemerintah masa
itu mengirim komisi memeriksa dan akhirnya memutus resmi pemilik sah wilayah
Uluindano adalah Tomohon.
Kepala
Balak Tomohon Lontoh Tuunan, seorang pemimpin besar perang Minahasa di Tondano
1808-1809 meninggalkan kepada keturunannya pula tanah-tanah luas di Kamasi dan di
Kolongan bekas kota tua Tomohon Nimawanua. Bahkan, tanah yang sekarang berdiri
gereja Katolik ‘Hati Kudus’ Tomohon serta biara Walterus di Kelurahan Kolongan,
merupakan warisan miliknya yang jatuh kepada anaknya Pangemanan Lontoh, dan kemudian
dimilki cucu mantunya Hukum Besar Lukas Wenas, lalu Mayoor Herman Wenas
(1843-1921).
Mayoor Herman Wenas. *) |
Mayoor Herman Wenas tahun 1883 menjualnya untuk tanah gereja, dan sebagian dimana rumah tinggalnya berdiri, ditukarnya bulan Oktober 1901 ditempati para Suster Tarekat JMJ (biara Walterus). Gantinya ia menerima pastori, sekolah dan kintal di Paslaten (II kini). Untuk tempat tinggal, ia membangun rumah di Walian yang strategis, dekat dengan Sarongsong, sebab ia memerintah Distrik Gabungan Tomohon-Sarongsong.
Dulu tanah Herman Wenas, kini biara Walterus. *) |
Kepala Distrik Ares Johakim Bernard ‘Ruruares’ Lasut (meninggal 1878) adalah tokoh yang kaya serta memiliki tanah-tanah luas. Konon, ketika Distrik Ares membeli tanah Kalakeran Ares dari Josephaes Jacobus cs seluas 122.500 m2 tanggal 1 Oktober 1847, ia pribadi menyumbang sebagian dari harga tanahnya, yakni 5.400 gulden.
Demikian pun dengan Kepala Distrik Likupang Mayoor Andreas Bernardoes Kalengkongan. Selain memiliki harta tanah luas di Likupang, ia pun memiliki banyak bidang tanah di Manado. Sementara budel atas nama mantan Kepala Distrik Sonder Exaverius Walewangko Jacob Waworuntu yang diwariskan untuk keturunannya, tanah seluas 144 hektar.
Kepala
Distrik Langowan Mayoor Nicolaas E.Mogot dan istrinya Sofia Wenas meninggalkan
budel tanah luas kepada putra-putrinya di Langowan. Namun, tanah seluas 126,6
hektar di Rumbia miliknya itu menjadi masalah tak terselesaikan hingga sekarang.
Kepala
Distrik Tondano-Touliang Jacob Gerungan (1824-1882) memiliki tanah sangat luas
pula, bahkan ketika pemerintah kolonial Belanda merencanakan membuka Hoofdenschool (Sekolah Raja) di Tondano
tahun 1866, ia menyumbangkan sebidang tanahnya untuk lokasi pendirian sekolah
tersebut (kini kompleks SMP Negeri 1
Tondano). Tahun 1875 ia mendaftarkan kepemilikan tanahnya seluas 459 bouw (1 bouw lebih 7.000 meter persegi) di Masarang.
Bersama dengan Jacob Gerungan, Kepala Distrik Langowan sebelum Mogot, yakni Mayoor Lourens Roeland Sigar mendaftarkan tanahnya di Noongan seluas 230,5 bouw.
Bersama dengan Jacob Gerungan, Kepala Distrik Langowan sebelum Mogot, yakni Mayoor Lourens Roeland Sigar mendaftarkan tanahnya di Noongan seluas 230,5 bouw.
Kepala
Balak Sarongsong Mayoor Herman Carl Waworuntu (1781-1854) menurunkan kepada
keturunannya tanah dan kebun luas yang terbagi kemudian pada banyak anaknya. Ia
meninggal tahun 1854 di Sonder. Jenasahnya ditandu beramai-ramai ke pemakaman
di Sarongsong sepanjang lebih tujuh kilometer. Jenasahnya itu melewati ruas jalan
yang sengaja ditaburi bulir-bulir padi hasil sawahnya, perlambang kekayaannya
tak terbilang. Penaburan padi demikian, adalah sesuai pesannya sebelum
meninggal. Katanya: ‘’Tujuh keturunanku tidak akan kelaparan atau kesusahan
dalam kehidupan yang bagaimana pun sulitnya.’’
TANAH LONTOH DAN RONDONUWU
Leluhur
Lontoh Tuunan (2) dan Mayoor Herman Carl Waworuntu, yakni Hukum Mayoor Kepala
Lontoh Tuunan (1) Mandagi dari Sarongsong meninggalkan tanah luas yang
pembagian dan pengaturannya kemudian diatur anak dan penggantinya Hukum Mayoor
Rondonuwu (1675-1743). Tanah-tanah itu beserta tanah-tanah harta Rondonuwu kelak
diatur penanganannya oleh penggantinya Mayoor Tongkotou, lalu oleh Mayoor
Tamboto hingga ke Mayoor Herman Carl Waworuntu kelak.
Salinan
surat lengkap tentang tanah harta kekayaan Lontoh Tuunan (1) dan anaknya Hukum
Mayoor Rondonuwu diteken terakhir oleh pemegang kuasa Andries Kambey di bulan
Maret 1906.
Danau Linow 1915. Tanah luas di dekatnya pernah dimiliki Rondonuwu Lontoh. *) |
Catatan budel ini kemungkinan merupakan data paling tua tentang harta kepala Minahasa tempo dulu. Luasannya masih dihitung memakai tektek dan waleleng. Satu tektek sama dengan 36.000 kaki, dan satu kaki sama dengan 30 sentimeter. Sementara satu waleleng sama dengan 3.600 kaki.
Tanah
milik atas nama Hukum Mayoor Kepala Lontoh Tuunan (1) Mandagi, meninggal tahun 1719, adalah:
Tanah di Wuwunongan
25 tektek.
Tanah di Mareo 10
tektek 9 waleleng.
Tanah di Kasamba 2
tektek 9 waleleng.
Tanah di negeri lama
Kapoya 3 tektek.
Tanah di negeri lama
Sarongsong 11 tektek 2 waleleng.
Tanah di Reko 5
tektek.
Tanah di Sasarongsongen
12 tektek 9 waleleng.
Tanah di Kahoror 2
tektek 9 waleleng.
Tanah di Mangaya 1
tektek 3 waleleng.
Tanah di Tampangerker
12 tektek 9 waleleng.
Tanah di Lolayan 11
tektek 8 waleleng.
Tanah di Mandei 2
tektek 8 waleleng.
Tanah di Rupet 2
tektek.
Tanah di Kasamba 2
tektek 2 waleleng.
Tanah di Sarunaru 5
tektek, dan
Tanah di Koha 4
tektek 5 waleleng.
Sementara
budel peninggalan anaknya Hukum Mayoor Rondonuwu Lontoh yang disebut pula Hulubangsa
Sarongsong, berada di Pahkontaan, Rumesik, Rugew, Wunek, Uluindano, Pakewa
(dekat dengan Linow), Lumales, Palawas, Boyong, Aki Tower, Uwalaan, Kaima,
Linow Wangko, Wuwunongan, Rumorong, Limo dan Kasamba. ***
*). Foto: koleksi KITLV Digital Media Library.
SUMBER:
Tomohon Kotaku, 2006.
Ensiklopedia Tou Manado.
Siapa Lontoh yang menandatangani perjanjian dengan Belanda, dan sipa Lontoh yang terlibat dalam perang
BalasHapusTondano?