![]() |
Peninggalan rumah Raja Manganitu di Toloarane. Koleksi Persito Lumanauw. |
Selain kerajaan Saban dan Limau, di Pulau Sangihe Besar pernah berdiri pula kerajaan yang berumur pendek, yakni Cayuris atau Cayuhis di negeri yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kauhis, sebagai pecahan dari kerajaan Manganitu.
Kerajaan ini tak lepas dari tokoh Don Carlos Piantay, saudara muda dari Raja Manganitu Don Santiago atau Don Saint Jago. Setelah Don Santiago dikalahkan Sultan Amsterdam dari Ternate dan dieksekusi dengan dipenggal kepala tanggal 13 Mei 1675 bersama seorang saudara laki-laki lain yang menjadi kapiten laut, Piantay melarikan diri ke gunung dengan sekitar 500 pengikutnya. Ia kemudian ke Tamako negeri kantong milik Siau di Pulau Sangihe Besar mendapatkan perlindungan dari Raja Siau Don Francisco Xavier Batahi dan padri Spanyol.
Bersama rakyatnya, Piantay membangun negeri Cayuris. Ia memproklamasikan diri sebagai Raja Manganitu di Cayuris menentang Raja Takanetang yang di kemudian hari bernama Don Martin Takanetang. Sultan Amsterdam telah melantik Takanetang anak Imam Tanjawa menjadi Raja Manganitu pengganti Don Santiago pada 15 Mei 1675.
Padri Emanuel Espanjol menjadi penasehat dekatnya. Piantay juga memeluk agama Katolik dengan nama Don Carlos atau Carolus Piantay atau menurut sumber Spanyol Don Carlos de Espana Bantay. Sebuah gereja dan sekolah dibangun di Cayuris di bawah guru Tamako Juan de Leon.
Kepada Gubernur dan Kapten Jenderal Spanyol di Manila pada 1 Agustus 1677, Piantay meminta kiriman meriam untuk melawan Ternate yang membunuh saudaranya. Putra tertuanya sengaja dikirim ke Manila untuk memperjuangkan bantuan dari Spanyol.
Namun dengan bujukan Gubernur Robertus Padtbrugge serta menyerahnya Siau, Don Carlos Piantay bersedia berdamai dengan Kompeni Belanda dan Raja Martin Takanetang.
Tanggal 10 Desember 1677 di sloep (chialoup, sekoci) den Eendragt yang berlabuh di Teluk Malahasa Tahuna, Piantay dengan bobatonya Hukum Matheos Papaar dan Sangaji Mattheo Adiel meneken perjanjian sebanyak 14 pasal dengan Gubernur Padtbrugge serta Takanetang. Menurut Padtbrugge setelah Raja Saint Jago dibunuh tahun 1675, Piantay telah diminta untuk menggantikan sebagai raja. Tapi Piantay tidak muncul karena takut akan bernasib sama dengan saudaranya, sehingga Takanetang yang diangkat menjadi raja oleh Sultan Amsterdam.
Piantay diakui sebagai penguasa tertinggi atas semua rakyat yang pernah memisahkan diri dengannya dan menerima dengan segala kehormatan gelar sebagai raja, berhak mengangkat panglima dan pembesarnya. Sebaliknya ia hanya mengamalkan Kristen Reformasi, melarang para padri dan simbol-simbol Katolik dan semua orang Eropa lain serta menebang habis pohon rempah.
Wilayah Cayuris ditentukan pula dari Cayuris sampai Tanah Marama dimana penduduknya dapat memperoleh sagu dan buah-buahan. Wilayah selebihnya berada di bawah perintah dari Raja Manganitu.
Padtbrugge menempatkan untuk sementara waktu Sersan Jan Lodewyksz dari Tahuna sebagai komandan pos di Cayuris.
Kristen Reformasi berkembang di Cayuris dengan kedatangan Predikant Zacharias Caheyng lalu Ds.Cornelis de Leeuw dan Gillius Cammiga. Piantay sekeluarga pindah menganut Kristen Reformasi. Gereja di Cayuris juga diperbesar serta sebuah sekolah dibuka di bawah guru Caspar Taydi kemudian Wouter de Lima. Bahkan putranya dibaptis Cammiga dengan nama Carel.
BERSATU KEMBALI
Umur kerajaan Cayuris hanya berlangsung selama empat tahun dari tahun 1675 hingga tahun 1679, menjadi satu kembali dengan Manganitu dengan Don Carlos Piantay diakui raja berkuasa penuh Manganitu. Dengan alasan hak kelahirannya sebagai keturunan langsung para Raja Manganitu putra dari Raja Tompor dan saudara kandung Raja Don Santiago. Sementara Takanetang terhitung kerabat jauh. Ibu Takanetang yakni Putri Ilangsariwu adalah anak dari saudara wanita Santiago dan Piantay yang dikawini oleh Agogo seorang jogugu Tabukan di Salurang.
Dalam jurnalnya bertanda chialoup den Eendragt di Teluk Tahuna Sabtu 11 Februari 1679, Padtbrugge mencatat Raja Takanetang menyerahkan seluruh wewenang pemerintahannya kepada Piantay. Tapi dengan syarat dan perjanjian yang diikrarkan bahwa setelah kematian Piantay kerajaan akan jatuh ke tangan Takanetang yang akan berkuasa dan memiliki otoritas penuh. Meskipun setelah kematian Takanetang pula posisi raja akan kembali jatuh ke tangan salah satu putra atau keponakan dari Piantay.
Takanetang akan mempertahankan gelar raja dan mempertahankan tanda kehormatan atau apapun miliknya baik rakyat dan budak yang menjadi haknya. Tanda kehormatan demikian akan terus ada pada orang yang hidup paling lama.
Padtbrugge setuju kesepakatan antara Piantay dan Takanetang, menjaminkan Kompeni mendukung dan menjamin Takanetang yang menemuinya di atas kapal dengan akta terbuka dan tersegel.
Kesepakatan tersebut mengakhiri era dua raja Manganitu, sehingga Raja Piantay menjadi salah seorang raja paling berkuasa di Kepulauan Sangihe. Raja Takanetang beroleh gelar baru raja muda (jongen koning). Keduanya saling menyapa ayah dan anak, dan Takanetang selalu menunjukkan rasa segan, tunduk dan hormat kepada Piantay yang sudah berusia tua.
Raja Piantay masih bertahan di negeri Cayuris sampai tahun 1680 ia pindah dan mulai memerintah di Manganitu.
Manganitu jadi terbagi atas dua negeri. Dari memorinya kepada penggantinya Gubernur Jacob Lobs bertanda Ternate 31 Agustus 1682, Padtbrugge menyebut Raja Piantay berdiam di negeri Leang yang berpenduduk 700 rumah tangga, dan Coejang di bawah Raja Takanetang sebanyak 70 rumah tangga. Manganitu berkewajiban menyediakan tiga korakora dengan 150 tenaga wajib kerja untuk kepentingan Kompeni, dan bersama dengan Kendahe dan Tahuna harus menyetor saban tahun 1.000 tempayan minyak kelapa.
Padtbrugge ingkar janji. Padtbrugge yang dipromosikan menjadi Komisaris Provinsi Timur (Ambon, Banda dan Maluku) sekaligus Gubernur Ambon, telah menginstruksikan penggantinya sebagai Gubernur Maluku Jacob Lobs untuk memastikan bahwa tidak ada anak Piantay yang diizinkan untuk memimpin kerajaan Manganitu atau menggantikan ayah mereka. Sedangkan kepada Gubernur Jenderal Cornelis Speelman dan Dewan Hindia, 31 Agustus 1682 itu Padtbrugge menggambarkan Raja Piantay sebagai pengikut setia Spanyol yang sangat keras, menuduhnya labil dan tidak stabil dalam semua tindakannya.
Upaya Piantay sebelum kedatangan Padtbrugge dengan mengirim putra sulungnya ke Manila dengan sebuah korakora besar untuk meminta bantuan Spanyol melawan Kompeni diungkit-ungkit. Piantay tidak pernah dapat dibujuk untuk memulangkan kembali putranya tersebut.
Hubungan Raja Piantay dengan Takanetang berubah memburuk di tahun-tahun akhir hidupnya. Ia dilaporkan bersengketa pula dengan dua jogugu Tabukan David Pandjalang dan Thomas Wala.
Bobatonya ikut mengadukannya. Sangaji Simon Makalibu dalam surat kepada Raja Muda Don Martin Takanetang bertanda Manganitu 18 Juli 1689 melaporkan Piantay melakukan tindakan melawan Kompeni lima tahun sebelumnya. Ketika itu Piantay telah mengumpulkan semua bobato di rumahnya dan memutuskan mengirim Louis Coenca ke Manila kepada Gubernur Spanyol, mengaku bahwa dia ingin keluar dari Kompeni dan meninggalkan iman Kristen Protestan.
Surat yang turut diteken Gabriel Tamoesora, guru bantu Anthony Makapedua dan guru Lucas Fortados diteruskan Takanetang kepada Kompeni dan diterima Komisaris Dirck de Haas dan Gubernur Joannes Cops.
Menurut Makalibu, Louis Coenca dengan 18 orang yang berangkat bersamanya akan memanggil Spanyol dan Inggris, dimana Piantay akan menyerahkan kerajaannya kepada Spanyol atau Inggris, dan jika mereka tidak setuju untuk datang membantunya, ia bermaksud melarikan diri ke Manila dan menyerang Kompeni.
Namun Gubernur Joannes Cops tidak bertindak apa-apa, meski mengkhawatirkan musuh Kompeni akan memanfaatkan keadaan dengan suasana hati Raja Piantay yang berubah-ubah. Tapi Piantay sendiri dalam suratnya berkali-kali menyatakan kesetiaannya kepada Kompeni.
''Selama-lamanya
saya memegang tuan Kompeni. Saya belum lawan sabda dan titah tuan-tuan,’’ demikian
jawaban Piantay bertanda Manganitu
2 Juni 1693.
SELISIH MAHKOTA
Raja Carlos Piantay memiliki sejumlah anak dari ratunya bernama Michaela Licotaja serta selir bernama Dominga Belia. Dari inventarisasi warisannya diketahui Piantay sangat kaya, memiliki banyak harta, emas dan budak.
Raja Piantay meninggal dalam usia tua tanggal 15 Juni 1693.
Putra keduanya Pangeran Dirk Piantay atau Dirk Oudouman segera menuntut haknya untuk menggantikan ayahnya. Tapi permintaannya tidak disetujui pengganti Cops, Gubernur Cornelis van der Duyn dan Dewan Maluku. Duyn menjalankan pesan Padtbrugge untuk menunjuk raja muda Martin Takanetang menjadi satu-satunya raja berkuasa penuh di Manganitu.
Menunggu pengangkatan kembali Don Martin Takanetang sebagai raja berkuasa penuh atas Manganitu, pemerintahan Manganitu dijalankan Kapiten Laut Goan Manepugu, Sangaji Simon Makalibu dan Kimelaha Joan Sasasionge.
Don Martin Takanetang mulai memerintah Manganitu sebagai pengganti Raja Piantay sejak 27 Agustus 1694 dan dikukuhkan kembali menjadi Raja Manganitu di Kastil Oranje Ternate pada tanggal 29 Januari 1695 dengan menandatangani pembaruan dari kontrak yang diteken Raja Piantay 10 Desember 1677. Pengangkatannya diperkuat dengan keputusan Gubernur Duyn 21 Februari 1695 yang menegaskannya sebagai raja absolut Manganitu.
Klaim atas tahta Manganitu datang dari Pangeran Dirk Piantay. Selain itu ada sepupu Dirk, anak dari mantan Raja Don Santiago yang bernama Ferdinando Saint Jago. Tapi, berbeda dengan Dirk Piantay, Don Ferdinando tidak ambisius. Ia digambarkan komisi yang berkunjung sebagai seorang yang jujur dan berbudi luhur, juga takut akan Tuhan.
Pada Selasa tanggal 9 Juli 1697 dilaksanakan sidang raja dan mantri dengan Daniel Fiers dan Jan Walraven de la Fontaine komisi dari Gubernur Salomon Lesage, untuk memilih posisi jogugu yang selama beberapa tahun tidak diisi. Pangeran Dirk dan Ferdinando menjadi calon yang diusulkan.
Tapi Dirk Piantay tegas menolak sebab berharap suatu saat akan menjadi raja. Jabatan jogugu dianggap upaya menyingkirkannya menjadi raja karena menyebabkan kehinaan. Dengan suara bulat pertemuan memilih Don Ferdinando Saint Jago yang menerimanya dengan memperoleh pengukuhan dari Gubernur Lesage.
Sedari tahun 1709 hingga tahun 1715 Dirk Piantay didukung pamannya Kapiten Gillius Salomon Riol gencar menuntut adanya dua raja seperti di zaman ayahnya serta haknya untuk menjadi penguasa bersama Manganitu dengan gelaran raja. Dirk mendasarkan tuntutannya pada kontrak dan kesepakatan antara ayahnya Raja Carlos Piantay dan raja bersama Martin Takanetang.
Tapi pemerintah Kompeni di Ternate lebih mendukung Manganitu di bawah satu raja, serta anak tertua Raja Martin Takanetang yakni Jacob Martin Lazarus sebagai calon pengganti ayahnya kelak.
Ketika Martin Takanetang meninggal 13 Desember 1722, putranya Jacob Martin Lazarus yang dilantik sebagai raja, menyisihkan Dirk Piantay putra Raja Don Carlos Piantay ataupun Don Ferdinando Saint Jago putra Raja Don Santiago.
(Sumber tulisan naskah Sejarah Kerajaan di Kepulauan Sangihe, Sitaro dan Talaud).
SUMBER LAIN:
Colin, Francisco, Pablo Pastells, Labor Evangelica, ministerios apostolicos de los obreros de la Compania de Iesvs en las Islas Filipina, 1, Imprenta y Litografia de Henrich y compania, Barcelona, 1900.
Heeres, J.E., F.W.Stapel,Corpus Diplomaticum
Neerlando-Indicum
3 (1676-1691), BKI deel 91, Martinus Nijhoff,‘s-Gravenhage, 1934.
Jacobs, Hubert, Documenta
Malucencia, vol.III 1606-1682, Instititum Historicum Societatis Iesu
(vol.126), Roma, 1984.
Leupe, P.A., Het Journal van Padtbrugge's reis naar
Noord-Celebes en de Noordereilanden, BKI 14, 1867.
Valentijn, Francois, Oud en Nieuw Oost-Indien, 5, Joannes van
Bram dan Gerard Onder de Linden, Dordrecht-Amsterdam, 1724.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.