Rabu, 10 Desember 2025

Sejarah Kerajaan Saban dan Limau

 


 Perahu khas rimpolaen kerajaan Tabukan.
Indie, Juni 1921. 

 

(Tulisan disarikan dari naskah Sejarah Kerajaan di Kepulauan Sangihe, Sitaro dan Talaud).

 

Di Pulau Sangihe Besar pernah berdiri kerajaan Saban dan Limau, bersesakan dengan kerajaan tradisional seperti Tabukan, Manganitu, Tahuna, Kendahe bahkan sempalan Manganitu Cayuris (Kauhistermasuk Tamako kantong Siau di Sangihe. Selain Tabukan yang merupakan kerajaan terbesar, kerajaan-kerajaan ini tergolong mini karena hanya memiliki beberapa negeri. Bahkan hanya satu atau dua negeri dengan penduduk dari ratusan hingga beberapa ribuan orang saja di dekade akhir paruh kedua abad ke-17. 

Kerajaan Saban dan Limaupun masing-masing hanya terdiri satu negeri saja. Kedua kerajaan bukan merupakan kerajaan asli yang didirikan oleh penduduk Sangihe, karena dibentuk oleh kesultanan Ternate yang mengklaim kepemilikan atas Sangihe. Umur kedua kerajaan tersebut hanya singkat berlangsung sedari tahun 1673 hingga tahun 1679. 

Tokoh utama dibalik pembentukan kedua kerajaan ini adalah Don Philip Datunseka atau menurut Gubernur Robertus Padtbrugge bernama Philip Sasukul, seorang bangsawan Tahuna dari negeri Saban yang sekarang dikenal dengan nama Sawang. Philip Datunseka adalah putra dari Don Pedro Melangin penguasa Saban sebelumnya. Bersama ayahnya, ia dibaptis menjadi Kristen Katolik oleh padri Spanyol. 

Don Philip Datunseka kemudian mengawini putri Raja Tahuna Don Juan Buntuan yang masih berkedudukan di negeri Kolongan. Ia menjadi salah seorang penasehat dekat Buntuan bahkan dipromosikan ayah mantunya menjadi jogugu di Saban. Tahuna ketika itu merupakan sekutu Spanyol. Di negeri Kolongan yang kemudian dipindahkan ke Tahuna berada sebuah garnisun kecil Spanyol. 

Pengaruh Kompeni Belanda yang semakin kuat di Kepulauan Sangihe menyebabkan Raja Don Juan Buntuan diam-diam sejak tahun 1663 berkomunikasi menyatakan keinginan dan komitmennya untuk bersekutu dengan Kompeni. 

Tahun 1666 Raja Don Juan Buntuan dan jogugunya di Saban Don Philip Datunseka sengaja datang ke Ternate bertemu dengan penguasa Maluku Komandan Anthony van Voorst.  

Tanggal 25 Agustus 1666 Komandan Anthony van Voorst melaporkan kepada Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker dan Dewan Hindia Belanda, Tahuna dan Saban telah meninggalkan Spanyol. Bersama dengan Raja Tabukan Kaicil Garuda menjadi teman dan sekutu dari Kompeni termasuk Raja Tagulandang Anthony Bapias (Bawias) yang merupakan anak dari Raja Tabukan. Tahuna dan Saban bahkan telah mengirimkan pasokan minyak kelapa untuk Ternate. 

Saban berkembang menjadi negeri semi merdeka karena ketokohan Don Philip dengan kekuatan prajurit yang hampir mengimbangi jumlah prajurit Tahuna. Pengganti van Voorst President Maximilian de Jonge tanggal 6 Juli 1669 mengungkap jumlah pria dewasa Tahuna yang sewaktu-waktu dapat dikerahkan untuk berperang sebanyak 400 orang sedangkan Saban berjumlah 300 orang. 

Dengan kekuatan sebesar itu Don Philip Datunseka menantang perang Raja Tabukan Kaicil Garuda yang memiliki 1.500 pria sebagai prajurit. Pemicunya masalah persipatan Saban dengan negeri Matane yang menjadi milik Tabukan. 

Don Philip Datunseka mengalami kekalahan. Tapberkat campur tangan dari President Maximilian de Jonge perdamaian dideklarasikan dengan Raja Garuda. 

Bahkan untuk mempererat kekerabatan Don Philip Datunseka kawin kembali dengan seorang saudara wanita dari Raja Garuda. Istri pertamanya putri Raja Don Juan Buntuan telah meninggal dunia. 

Raja Don Juan Buntuan wafat tahun 1668. Dan yang menggantikannya dari antara dua orang putranya Don Juan Pacarila dan Don Martin Tatandam, dipilih oleh President Abraham Verspreet tahun 1669 adalah putra bungsunya Don Martin Tatandam sehingga menyulut pemberontakan. Pacarila harus kalah dan lari dengan seratus pengikutnya meminta perlindungan dari Raja Siau Don Francisco Xavier Batahi di Tamako. 

Don Philip Datunseka yang ambisius tidak menghormati Raja Don Martin Tatandam, karena negeri Saban yang dipimpinnya hampir menyamai Tahuna, baik prajurit dan jumlah penduduk. Don Philip Datunseka tidak puas, ia ingin menjadi raja.  

Kesempatan ini datang ketika President Cornelis Francx datang di Manado bersama Ds.Daniel Brouwerius dengan jagt de Fortuyn dan chialoup de Perkit tahun 1673. Francx akan menandatangani kontrak persahabatan dengan Kapten Spanyol Andreas Serano dan Padri Francisco Miedes atas nama Raja Siau Don Francisco Xavier Batahi di Benteng Amsterdam Manado 13 Juli 1673 untuk tidak saling menggunakan kekerasan dalam keadaan apapun. Don Philip Datunseka dari Katolik pindah menganut agama Kristen Reformasi (Protestan).  

Menurut Predikant Jacobus Montanus yang berkunjung di Manado tahun 1673 dan 1675, President Cornelis Francx telah menjanjikan kepada Don Philip Datunseka sebuah tongkat rotan dan topi sebagai hadiah untuk konversi agamanya tersebut.  

Sementara President Francx ketika itu hanya mengukuhkan kembali Don Philip Datunseka dalam posisi jogugu di Saban dan Don Francisco Gotou di Tahuna. Mereka bersama tiga kapiten laut lainnya diberikan sebagai tanda jabatan satu tongkat rotan, serta hadiah kain poti


PEMBENTUKAN KERAJAAN

Meski belum lama dikukuhkan Francx dalam jabatan jogugu, Don Philip Datunseka berangkat ke Ternate bersama Kapiten Laut Tabukan Takaluman. Keduanya menemui Sultan Mandarsaha di istananya yang segera melantik Don Philip Datunseka sebagai pejabat Raja Saban, dan Takaluman pejabat Raja Limau. Don Philip Datunseka diislamkan pula oleh seorang kasisi. 

Kejadian tersebut, menurut Ds.Jacobus Montanus pula, berlatar hasrat menerima hadiah yang dijanjikan ketika ia menjadi Kristen Reformasi yang ditafsirkan sebagai janji pengangkatan raja. Don Philip Datunseka berangkat ke Malayu dan muncul di rumah President Cornelis Francx. Tapi Don Philip Datunseka tidak menerima apapun dari apa yang dijanjikan. Dari sana ia pergi ke istana Sultan Mandarsaha. Dia ditanya Mandarsaha apakah hadiah yang dijanjikan telah diberikan kepadanya. Segera setelah mengetahui bahwa hadiah belum diberikan, Mandarsaha menghadiahinya dengan serban. 

Fiskal Daniel Hellemans mencatat pengangkatan Don Philip Datunseka sebagai Raja Saban dengan anugrah topi, tongkat rotan, tulband, rok dan selendang dilakukan oleh Kaicil Majuda, sekretaris Sultan Mandarsaha, sadaha dan imam bernama Balangtangara. Sedangkan pejabat Raja Limau dilantik oleh Imam Bessi, Kapiten Laut Rheti dan seorang kimelaha. Ia pun menerima kehormatan sama. 

Kerajaan Saban mengambil penduduk dan wilayah milik Tahuna. Begitu pula kerajaan Limau mengambil penduduk dan wilayah Tabukan. Sultan Mandarsaha tidak merasa perlu meminta izin Raja Tahuna dan Raja Tabukan. 

Berbeda Raja Garuda dari Tabukan yang menahan dirkarena putrinya Somporiboan dijodohkan dengan Kaicil Sibori Amsterdam putra Sultan Mandarsaha dan tinggal di istana Sultan Ternate, Raja Tahuna Don Martin Tatandam tidak terima. 

Pembentukan kerajaan baru di tanah Tahuna ini membangkitkan kemarahan Raja Don Martin Tatandam. Kepada President Cornelis Francx tahun 1673 ia mencela tindakan Sultan Mandarsaha mengintervensi kerajaannya serta sikap plin-plan Don Philip. Tapi President Maluku tersebut tidak bertindak apa-apa. 

Raja Don Martin Tatandam menaruh harapan President baru Willem van Cornput akan menyelesaikan masalah tersebut. Dengan surat bertanda Taroena 14 April 1675 kepada pengganti Francx itu ia memprotes Don Philip karena Saban adalah negeri miliknya termasuk rakyatnya yang diambil dan dari Kristen dijadikan Islam. Tapi jawaban yang diperolehnya dari Ternate tanggal 19 Juni 1675 Cornput meninggal pada 15 Juni beberapa hari sebelumnya. 

Sultan Kaicil Sibori Amsterdam pengganti Mandarsaha justru bertindak lebih jauh. Ketika datang ke Pulau Sangihe Besar Maret 1675 untuk memerangi Raja Manganitu Don Santiago, di Tabukan ia mengukuhkan Don Philip Datunseka menjadi raja berkuasa penuh negeri Saban.

Lalu pada tanggal 24 Mei 1675 pejabat Raja Limau dikukuhkannya sebagai raja absolut Limau. Don Philip dihiasi dengan cassis Moor oleh Sultan Amsterdam. 

Raja Don Martin Tatandam masih menaruh harapan dengan menyurati pengganti sementara Cornput, Gezaghebber Pedagang Kepala (oppercoopman) Jacobus de Gheyn 5 Januari 1676, yang juga sia-sia.

Tapi Gubernur baru Robertus Padtbrugge berbeda. Padtbrugge yang ingin Kristen Reformasi dianut penduduk bersikap tegas terhadap kedua kerajaan tersebut. 

Raja Tabukan Kaicil Garuda yang kemudian menggunakan nama Don Francisco Makaampo sejak tahun 1675 terang-terangan pula menolak keberadaan kerajaan Limau setelah putrinya dipulangkan Sultan Amsterdam. Tuntutannya makin kuat setelah Padtbrugge memberi jaminan perlindungan tanpa keterlibatan atau campur tangan dari Ternate lagi. 

Raja Limau sejak tahun 1677 itu telah membentengi negerinya, dan Raja Garuda menuduhnya hendak melawan Tabukan. Pada tanggal 3 Desember 1677 Padtbrugge disertai Raja Garuda dan Raja Tahuna Don Martin Tatandam mendatangi Limau dan menemukan Limau membangun garis pertahanan terhadap Tabukan serta sedang membangun sebuah benteng kecil. 

Raja Limau mengaku ia tidak memperkuat diri terhadap Tabukan yang berada di bawah Kompeni, melainkan terhadap Manganitu di selatan karena takut diserang. Tapi Padtbrugge mendesaknya untuk membongkar pertahanan tersebut dan mengembalikan ke keadaan sebelumnya. 

Limau ternyata tidak membongkar pertahanan mereka. 

 

TIDAK DIAKUI

Padtbrugge bertindak tegas dengan kerajaan bentukan Ternate Limau dan Saban. Ia menolak keberadaan kedua kerajaan tersebut. Tahun 1679 Padtbrugge memutuskan Limau adalah milik dari Tabukan dan Saban milik Tahuna. Don Philip Datunseka hanya dianggap sebagai satu jogugu dari Raja Tahuna Don Martin Tatandam dan Takaluman sebagai satu jogugu Raja Don Francisco Makaampo. 

Penolakan terjadi. Tapi Padtbrugge tidak lagi menoleransi. Ia mengirim ekspedisi dengan jagt Sampson, Amsterdam, Experiment dan chialoup den Eendragt di bawah pimpinan komandan militer Maluku Kapten Cornelis Swerus dengan 98 serdadu yang berlabuh di Teluk Petta Tabukan pada Maret 1679. 

Don Philip Datunseka dimakzulkan dari kedudukan raja. Don Philip akhirnya menyerah ketika Saban diduduki Swerus yang dibantu pasukan tulungan dari seluruh kerajaan di Sangihe, Siau dan Tagulandang April 1679. Don Philip segera menyatakan kesetiaannya kepada Don Martin Tatandam dan menerima kembali jabatan sebagai jogugu Tahuna. Tapi Raja Limau menolak. Ia makin membentengi kuat negerinya yang berpenduduk 1.200 orang. 

Sultan Amsterdam dari Ternate mencoba membela kedua raja yang telah diangkatnya tersebut sebagai orang yang dihormatinya. Ia mengatakan dalam surat kepada Padtbrugge apabila Raja Limau seperti kakeknya sendiri sedang Raja Saban Don Philip sebagasaudara muda. Sultan Amsterdam telah mengirim ke Saban Jogugu Pangeran Alam bersama Kapiten Laut Rheti dengan satu perahu dan 6 orang pengiring. Tapi tidak mempengaruhi kebijakan Padtbrugge. 

Perlawanan raja dan penduduk di Limau sangat gigih selama dua bulan dan baru berakhir dengan terbunuhnya Raja Limau Takaluman pada tanggal 22 Juli 1679. Putra raja Pangeran Lauta serta Sangaji Cacana ditangkap bersama 30 wanita dan anak-anak.   

Selama ekspedisi yang telah dimulai sejak akhir Agustus 1678 sebanyak 52 orang Belanda meninggal, termasuk 2 serdadu Belanda yang terbunuh di Limau 6 April serta 2 serdadu lain pada tanggal 26 April. 

Pemimpin ekspedisi Kapten Cornelis Sweerus terbunuh di Limau pada 8 April 1679 akibat luka yang dideritanya. Negeri Limau hilang dari peta Tabukan. Penduduk sisa digabungkan dengan negeri Tabukan dan Matane. 

Seperti negeri Limau, Saban dihancurkan Padtbrugge pada November 1680. Semua penduduk dipindahkan Padtbrugge ke Tahuna. Sebanyak 416 laki-laki terdiri 46 dewasa yang telah dibaptis, 188 dewasa belum dibaptis, dan 182 anak laki-laki belum dibaptis, serta 392 perempuan (12 perempuan dewasa yang telah dibaptis, 290 perempuan dewasa belum dibaptis, dan 190 anak perempuan belum dibaptis). Terhitung dengan 60 tambahan baru, total penduduk yang dipindahkan ke Tahuna berjumlah 868 orang. Semua rumah di negeri Saban dibakar habis. 

Kerajaan Saban dan Limau berakhir. 

Nasib Jogugu Don Philip Datunseka juga menyedihkan. Tahun 1687 ia ditahan atas perintah Gubernur Joan Henric Thim bersama Jogugu Siau Jeronimo Daras. Datunseka dituduh hendak melakukan pemberontakan terhadap Raja Don Martin Tatandam dan Belanda. Bekas Raja Saban tersebut dengan dirantai dibawa ke Batavia, dan kemudian dibuang di Pulau Ceylon sekarang Sri Lanka, sedangkan Daras dibuang di Pulau Obi Maluku. 

Putra Don Philip Datunseka Pangeran Carlos Cacambon pada tahun 1702 diangkat menjadi jogugu kedua negeri Saban yang menjadi bagian dari negeri Tahuna. Kejoguguan Saban dihapus ketika Carlos Cacambon meninggal tahun 1721, tinggal kejoguguan Tahuna dan Kolongan. Joannes Carlos Cacambon anak Carlos Cacambon ditunjuk sebagai jogugu Tahuna tahun 1727. Belakangan negeri Saban berdiri kembali di bawah perintah seorang jogugu pula. 

Salah seorang keturunan Raja Limau yang selamat Pangeran Lauta memilih dibaptis Kristen dengan nama Pieter Lauta. 

 

 

SUMBER:

Sejarah Kerajaan di Kepulauan Sangihe, Sitaro dan Talaud, naskah.

P.A.Leupe, Het Journal van Padtbrugge's reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden, BKI 14, 1867.

W.Ph.Coolhaas, Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII, deel III, 1656-1674, deel IV 1675-1676.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.