Kamis, 17 Maret 2016

Pelukis Paulus Najoan dan Frederik Kasenda








                                                      Oleh: Adrianus Kojongian







Lukisan Frederik Kasenda. *)







Pelukis asal Minahasa telah tersohor sejak lebih satu abad lalu. Adalah Paulus Najoan yang menjadi perintis munculnya pelukis-pelukis hebat dari Minahasa. Meski kemudian ia lebih dikenal sebagai fotografer Indonesia, ketika masih Hindia-Belanda, tapi, lukisannya menjadi sangat antik dan dicari.

Paulus Najoan belajar melukis dan memotret --bakat lainnya yang mengantarnya menjadi lebih terkenal-- di Jakarta ketika masih Batavia. Ia masih menimba ilmu dari guru kepala Hoofdenschool di Makassar. Usai pendidikan, ia bekerja di Ambon Maluku sebagai guru seni di Sekolah Guru (Kweekschool) Ambon.

Sejak tahun 1880-an, karya-karyanya telah memenangkan penghargaan di Batavia. Bulan November 1884 tiga buah potret pemandangan dari kapur karyanya, memperoleh penghargaan medali perak (zilver).

Tapi yang membuat nama Paulus Najoan masih diingat adalah dua lukisan pemandangan yang dibuatnya di Ambon tahun 1892. Lukisan tersebut berlatar pemandangan Teluk Ambon. Dilihat ke barat saat matahari terbenam, dan melihat ke arah timur ketika matahari terbit di (gunung) Salahutu.

Lukisan pemandangan Teluk Ambon itu dibuat Paulus Najoan khusus untuk Gerrit Willem Wolter Carel Baron van Hoevell, Residen Ambon tahun 1891-1896. Baron van Hoevell (1848-1920), sebelumnya menjabat Asisten-Residen di Gorontalo, dan di belakang hari sebagai Gubernur Sulawesi 1898-1903



Paulus Najoan di bencana Ambon 1898. *)


Di masa berikut, lukisan Paulus Najoan tersebut telah diwariskan sebagai koleksi milik putri sang Baron, yakni Baronesse van Hoevel yang dikawini mantan Residen Tapanuli J.W.Th.Heringa. Karena kondisinya memprihatinkan, kedua suami-istri itu merestorasi lukisan Paulus Najoan pada Jan Frank, seorang pelukis terkenal di Batavia ketika itu. Usai diperbaiki lukisan Paulus Najoan sempat dipamerkan di depan umum di Batavia pada bulan Juli 1937.

Kemudian tidak diketahui lagi bagaimana nasib lukisan pemandangan Teluk Ambon karya Paulus Najoan. Namun, ketika pameran 1937 sang Baronesse mengutarakan keinginannya agar lukisan tersebut kembali ke Ambon, sebagai penghias rumah Residen Ambon.  

Seakan raib tanpa bekas, baru lima puluh sembilan tahun kelak, yakni di tahun 1996 diketahui kalau lukisan Paulus Najoan dilelang di Indonesian&South East Asian Picture Glerum Auctioneers Singapura, meski pihak pelelang salah menaksir perkiraan usianya, 1902. Padahal semestinya lebih tua lagi, karena dibuat tahun 1892. Nilai penjualannya adalah 3.600 SGD Hammer, atau saat itu hampir 35 juta rupiah.

Kehidupan pribadi Paulus Najoan tidak banyak diketahui. Hanya diketahui ia lahir sekitar tahun 1860-an dan kawin di Ambon dengan Johanna Wilhelmina Abrahamse yang meninggal 9 November 1900. Ia memperoleh status disamakan dengan orang Eropa, begitu pun anak-anaknya yang lahir di Ambon seperti Johannes Paul Simon Najoan, Willem Johan Carel Najoan dan Henriette Johanna Wilhelmina Najoan. Regeeringsalmanak mencatat, Paulus Najoan dengan nama lengkap J.P.S.Najoan (seperti inisial anaknya), diangkat menjadi guru handteekenen di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Amboina terhitung tanggal 10 Oktober 1885.

ASAL REMBOKEN
Pelukis terkenal Indonesia asal Minahasa berikutnya adalah Frederik Kasenda. Ia dilahirkan di Remboken Minahasa tanggal 31 Mei 1891. Bakatnya telah terasah sejak belia, dan menarik perhatian Johan Ernst Jasper (1874-1945) yang kelak menjadi Residen di Tapanuli dan Gubernur Yogyakarta. Jasper membantu Kasenda studi dan mengembangkan bakatnya di Jawa.



Rumah di tepi sungai karya Frederik Kasenda. *)


Pamor Frederik Kasenda sebagai pelukis, terkenal di periode tahun 1920-an dan 1930-an. Ia sangat giat mengadakan pameran di berbagai tempat di Jakarta, kemudian Surabaya serta kota-kota besar lain. Karyanya membuat banyak pengusaha Tionghoa sangat mengaguminya. Dua lukisan wajah pemimpin Tiongkok, yakni Dr.Sun Yat Sen dan Jenderal Chiang Kai-Shek yang dibuatnya ketika itu sangat terkenal, sehingga Frederik Kasenda sempat disponsori mengadakan pameran di Singapura.

Frederik Kasenda meninggal di Jakarta, 1 Januari 1942 sebelum Jepang berkuasa. 

Sekarang lukisan-lukisannya banyak dilelang di luar negeri. Seperti di Glerum Auctioneers Gravenhage, Glerum Auctioneers Singapura, Christie’s Amsterdam, dan Sotheby’s Amsterdam. Semisal lukisan people escaping eruption of Merapi in December 193, dilelang di Glerum Auctioneers Singapura 30 Juni 1996 senikai $1.987 USD. Lalu Stream through the bamboo forest di Christi’e Amsterdam 26 September 2006 senilai $1.015 USD. Selang 1994-2009 diketahui ada sebanyak 10 buah lukisannya dijual dengan harga maksimum $ 1.987. ***

*). Lukisan dari auction catawiki, pinterest dan foto KITLV Digital Media Library.

BAHAN OLAHAN
Delpher Kranten
                 Ensiklopedia Tou Manado.

Sabtu, 12 Maret 2016

Mengenal (Sedikit) Raja-Raja Bolaang-Itang





                                                      Oleh: Adrianus Kojongian






Raja Ram Soeit Ponto di sebelah Kontrolir Mr.J.Allart dan Pdt W.Dunnebier.. *).





Bolaang-Itang yang sekarang merupakan tiga kecamatan di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, semula merupakan daerah bagian Kerajaan Kaidipang. Perjalanannya menjadi kerajaan sendiri harus melalui pertikaian panjang diantara para penguasanya dengan raja-raja Kaidipang. 

Berawal dengan Linkakoa, atau Liunkakoa atau juga Sinkakoa. Dengan dukungan sekutu utama kerajaan Siau di Sangihe, penguasa Bolaang-Itang selang tahun 1670-1690-an itu dapat ‘memerdekakan’ diri, sehingga Linkakoa yang bernama resmi Magdalena Linkakoa beroleh julukan Radja Parampoewan.

Sayang, kepemimpinan Raja Parampoewan Linkakoa tidak pernah tercatatkan dalam versi sejarah Bolaang-Itang termasuk Kaidipang yang ada sekarang. Begitu pun dengan Raja Mau-Bilang (baca: Mengenal (Beberapa) Raja Kaidipang).

Para pengganti Linkakoa dari keluarga Ponto terus berjuang untuk memisahkan diri dari Kaidipang. Terkenal kemudian Pangeran Claas Ponto yang menjabat Jogugu Bolaang-Itang di periode pemerintahan Raja Kaidipang Willem Korompot dan Albert Korompot. Meski sempat didamaikan Kompeni di Ternate, sengketa terus berlanjut, berbuntut saling melaporkan. Pangeran Class Ponto terakhir dilaporkan 30 Mei 1734 oleh Raja Albert Korompot pada Komisaris Maluku Johannes Bernard, namun dibantahnya dalam surat awal 1735. 

Pertikaian dilaporkan masih berlangsung ketika Bolaang-Itang berada di bawah kepemimpinan Israel Ponto. Masa Israel Ponto, semakin kuat keinginan Bolaang-Itang menjadi kerajaan terpisah dengannya sebagai raja, seperti dicatat surat resmi Gubernur Jenderal Jacob Mossel 31 Desember 1757.

Baru tahun 1793, Kompeni Belanda mengambil kebijakan memisahkan Bolaang-Itang dengan Kaidipang, dengan mengangkat Salmon (Salomon) Ponto sebagai Raja Bolaang-Itang yang pertama (versi lain pemisahan ini justru terjadi di masa pemerintahan Inggris)

Salah seorang permaisuri Raja Salmon adalah Silagonda Jacobus, putri Raja Siau Ismail Jacobus. Anaknya Daud Ponto menggantikannya di Bolaang-Itang, sedang anak lainnya Nicolas Ponto diangkat menjadi Raja Siau di tahun 1839.

Raja M.Daud Ponto resmi naik tahta mengganti ayahnya Salmon sejak 31 Oktober 1832. Kontrak yang ditekennya dengan Residen Manado Albert Jacques Frederik Jansen yang mengunjungi Bolaang-Itang tanggal 24 Agustus 1857 telah mengakhiri pengangkatan raja baru secara adat seperti yang terjadi sebelumnya. Karena dengan perjanjian tersebut memberikan Belanda hak istimewa untuk menunjuk dan memberhentikan para Raja Bolaang-Itang.

Tambahan kontrak diteken Raja Daud Ponto 19 September 1859. Para mantrinya ikut bertanda adalah: Jogugu Togupas (Togupat), Marsaole Adam dan Binol, Walapulu Lesaro, Hukum Kolano, Sangaji Kadasinan, Kimalaha Milikolo serta Kapitan Raja Pahulij dan Openg.

Raja Daud Ponto termasuk salah seorang raja di Keresidenan Manado yang berkuasa paling lama, memerintah selama 32 tahun, hingga meninggal tahun 1864. Ia mempunyai dua putra. Jacobus Ponto yang tanggal 26 September 1850 diangkat menjadi Raja Siau menggantikan pamannya Nicolas Ponto; serta Israel Ponto (2) yang diangkat jadi Raja Bolaang-Itang menggantikannya sejak 29 Agustus 1864.

Masa pemerintahan Raja Israel Ponto, agama Islam tumbuh subur di Bolaang-Itang dengan kedatangan Imam Safi di bulan Juni 1870 yang bergiat memberikan pelajaran agama. Kemudian juga di tahun 1874 singgah Mohamad Amin, orang Arab yang datang dari Singapura.

Raja Bolaang-Itang berikutnya adalah Togupat Ponto, dilantik dengan kontrak tanggal 6 Oktober 1873 menggantikan Israel Ponto. Ia menjabat singkat sekali karena diberhentikan tahun 1874, berakibat untuk beberapa waktu terjadi kekosongan pemerintahan di Bolaang-Itang. Mantan Raja Togupat diasingkan Belanda di Ternate, namun kemudian pulang kembali ke Bolaang-Itang.

Baru di tanggal 7 Oktober 1875 Ali Padir Ponto dilantik resmi di Manado sebagai pengganti Togupat Ponto. Ini setelah Ali Padir Ponto meneken Akte van Verband dengan Residen Manado Mr.Samuel Corneille Jan Wilhelm van Musschenbroek. Beslit pengukuhan Ali Padir Ponto sebagai Raja dari Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge baru turun tanggal 25 Oktober 1876 bernomor 3.

Namun kemudian dengan berbagai tuduhan,dengan berpatokan kontrak 24 Januari 1857, Residen Manado pengganti Musschenbroek yakni Anthonie Hendrik Swaving mencopot jabatan Raja Ali Padir Ponto. Pencopotan oleh Swaving diperkuat keputusan Gubernur Jenderal van Lansberge tanggal 15 Maret 1877.

Pada tanggal 25 Februari 1883 disetujui sebagai Raja Bolaang-Itang yang baru Suit Ponto. Raja Suit sebenarnya mulai memerintah sejak dipilih oleh para mantri Bolaang-Itang 14 Desember 1880, setelah lama terjadi kekosongan posisi raja setelah pemberhentian Ali Padir Ponto.


Peta Bolaang-Itang dan Kaidipang 1897.


Pengganti Raja Suit Ponto adalah Bondji Ponto, mulai memerintah Bolaang-Itang tahun 1887. Sampai tahun 1893 dinyatakan Raja Bondji belum dikonfirmasi. Ia telah meneken kontrak dengan Residen Manado Eeltje Jelles Jellesma 12 September 1895 dan tambahan kontrak 25 Juli 1897. Kontrak terakhir yang ditekennya 26 Maret 1901. 

Raja Bondji terkenal sebagai pembaharu dengan membangun Komalig (istana) dan masjid. Sebuah sekolah didirikan pula dengan dipimpin guru N.L.Ponto. Lama memerintah, ia minta berhenti karena usia tua dan sakit. Resminya ia diberhentikan dengan hormat, berdasar beslit gubernemen 18 September 1906 nomor 10.

Dengan beslit 18 September 1906 itu telah diangkat Philip Ponto menjadi pejabat Raja Bolaang-Itang dengan sebutan President Raja. Namun, catatan lain menyebut Sinjo Ponto,anak Bondji Ponto yang menjabat Jogugu diangkat sebagai President Raja menjalankan pemerintahan Bolaang-Itang untuk sementara waktu setelah Bondji Ponto mengundurkan diri.

RAM SOEIT PONTO
Raja Ram Soeit Ponto adalah raja sangat terkenal dan paling lama memerintah dibanding raja lain dari Dinasti Ponto, bahkan rekor berkuasanya di zamannya mengalahkan sesama raja di Keresidenan Manado termasuk pula raja-raja lain di Indonesia.

Raja Ram yang dilahirkan tanggal 27 Januari 1864 menjabat sebelumnya sebagai Marsaole di Distrik Boenong. Ia naik tahta Bolaang-Itang, resmi menggantikan Bondji Ponto dengan meneken Akte van Verband di hari Senin tanggal 18 Februari 1907 di Bolaang-Itang. Pengukuhan Gubernur Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz keluar dengan beslit 26 Juni 1907 nomor 33. Kontrak tambahan dibuatnya dengan Kontrolir Bolaang-Mongondow Abraham Coomans 20 Februari 1907.

Ram Soeit Ponto kemudian ditunjuk sebagai raja pertama (dan terakhir) dari kerajaan Kaidipang Besar di Boroko yang menggabungkan kerajaan Kaidipang dengan kerajaan Bolaang-Itang. Ia resmi ditabalkan sebagai Paduka Raja Kaidipang Besar tanggal 27 April 1913 dan dibeslit Gubernur Jenderal 31 Juli 1913.

Raja Ram meneruskan pembaruan yang dilakukan Raja Bondji. Areal persawahan di kerajaannya diperluas, sehingga terjadi surplus beras yang sangat mencukupi kebutuhan penduduk. Tahun 1929 ia membangun jembatan yang diberi nama Ponto untuk memperlancar perhubungan dari Labuhan Boroko dengan Bintauna. Putrinya Bua Juliana Ponto dikirimnya ke Bandung untuk belajar industri tenun modern selama satu tahun. Ketika kembali, tahun 1932 sang putri membuka sebuah Weefschool (Sekolah Tenun) di ibukota Kaidipang Besar Boroko.

Residen Manado dan pemerintah Hindia-Belanda di Batavia sangat memuji kepemimpinannya.Tahun 1928 Raja Ram Soeit Ponto dianugerahi bintang emas kecil (klein gouden ster). Kemudian bulan Juni 1937 bintang dengan derajat tertinggi yang biasa diberikan Gubernur Jenderal ketika itu, yakni bintang emas besar (Groote Gouden ster) sebagai penghargaan atas kesetiaan dan pengabdiannya.

Terakhir Raja Ram menjadi anggota Dewan Raja-Raja Bolaang-Mongondow di tahun 1948. Lalu ia membubarkan kerajaan Kaidipang Besar tanggal 7 Mei 1950, setelah berkuasa selama lebih 43 tahun. Hampir enam tahun sebagai Raja Bolaang-Itang, dan lebih 37 tahun sebagai Raja Kaidipang Besar. Tanggal 15 November 1954 di Labuan Boroko, mantan Raja Ram meninggal dunia dalam usia lebih 90 tahun, dengan sejumlah koran Belanda memuat beritanya. ***




Para Penguasa Bolaang-Itang



Nama
Periode
Keterangan
Liunkakoa, Magdalena Linkakoa

Regent
Claas Ponto

Regent, Jogugu
Israel Ponto

Regent, Jogugu
Salmon Ponto
1793-1832
Raja
M.Daud Ponto
31 Oktober 1832-1864
Raja
Israel Ponto
29 Agustus 1864-1873
Raja
Togupat Ponto
6 Oktober 1873-1874
Raja
Ali Padir Ponto
7 Oktober 1875-15 Maret 1877
Raja
Suit (Soeit) Ponto
14 Desember 1880-1887
Raja
Bondji Ponto
1887-18 September 1906
Raja
Philip Ponto
18 September 1906
President Raja
Ram Soeit Ponto
18 Februari 1907- 27 April 1913
Raja


 


*). Foto Walter Alexander Kaudern, koleksi Keluarga Ram Soeit.Ponto dari Ayi Modeong, peta koleksi SGD.

SUMBER TULISAN
Coolhaas, Dr.W.Ph., Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII. ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1960; dan dalam Historici nl..
Delpher Kranten.
Ensiklopedia Tou Manado.
Heeres, Jan Ernst, Frederik Willem Stapel, Corpus diplomaticum Neerlando-Indocum, vol.5, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage,1907. Buku Google
.
          

Senin, 07 Maret 2016

Mengenal (Beberapa) Raja Kaidipang








                                                      Oleh Adrianus Kojongian







Peta Bolaang-Mongondow. *)





Kaidipang, di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara sekarang, pernah menjadi kerajaan mandiri bertetangga kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaang Itang, Bintauna dan Bolaang Uki. Dinasti Korompot menjadi penguasa turun-temurun sejak awal hingga penggabungannya dengan Bolaang Itang di tahun 1913.

Sayang, ada yang mengganjal ketika meneliti sejarah Kaidipang yang beredar luas selama ini. Selain nama raja-rajanya yang sangat tidak bersesuaian dengan bukti-bukti yang ada, dalam umpamanya penandatanganan perjanjian dan kontrak yang pernah terjadi, tahun-tahun pemerintahannyapun banyak lari dan jauh dari fakta yang semestinya.

Selama ini berkembang kisah kalau Maurits Binangkal, yang dicatat juga dengan nama Martinus Binangkal, yakni raja pertama Kaidipang yang ketika itu belum resmi memakai fam Korompot, telah dibawa langsung dan ditabalkan raja di kerajaan Gowa Makassar oleh Gubernur Robertus Padtbrugge.

Padtbrugge adalah Gubernur Maluku dengan kedudukan Ternate, dimana Manado, Gorontalo dan sebagian kawasan Sulawesi Tengah, termasuk didalamnya kerajaan Kaidipang, adalah wilayah penguasaannya. Jadi, cukup aneh kalau Patdbrugge mesti membawa Maurits Binangkal ke Makassar --yang berada di luar cakupan pemerintahannya--hanya untuk sekedar dilantik raja.

Tradisi pelantikan raja-raja yang berada di Keresidenan Manado (termasuk Gorontalo ketika masih berbentuk keresidenan) masa VOC, biasanya dilaksanakan di Ternate, bertempat di Benteng Orange. Baru kemudian di masa berikut banyak dilaksanakan di Manado.

Padtbrugge justru dalam perjalanannya ke Keresidenan Manado 16 Agustus sampai 23 Desember 1677 membuat keistimewaan dengan langsung melantik (ulang) para raja di Sulut di ibukota masing-masing kerajaan. Meski mereka baru atau bahkan telah lama memangku posisinya. Ia selalu menandainya dengan pemasangan 'mahkota' topi Belanda, serta pemberian tanda-tanda kehormatan lain dan hadiah.

Jurnal Padtbrugge mengungkap pada hari Rabu tanggal 8 September, kapalnya 'de Vliegende Swaan' telah membuang sauh di perairan lepas pantai Kaidipang yang berkedalaman 14 sampai 30 depa. Raja Kaidipang Binangkal yang disertai Hukum dan Sangaji diterima (dan kemudian dilepas) dengan kehormatan tembakan meriam. Setiap dentuman meriam, Raja Binangkal berseru dengan sangat gembira dan terpesona sekali.

Raja Binangkal meminta pertolongan GubernurPadtbrugge menghadapi lawannya Regen Bolaang Itang Linkakoa, bekas istri saudaranya Mau-Bilang yang telah lama berselisih dengannya. Mau-Bilang adalah raja sebelum Binangkal. Perkawinan Mau-Bilang dengan Linkakoa tidak berlangsung lama dan mereka bercerai. Bolaang Itang yang masih merupakan bagian kerajaan Kaidipang dibawah Linkakoa atau juga disebut Liunkakoa dan juga Sinkakoa tumbuh menjadi bagian kerajaan yang merdeka. Linkakoa terkenal dengan gelaran Radja Parampoewan, diduga dibaptis Kristen Katolik oleh Pater Carlo Torcotti. Ia dikenal dengan nama Magdalena Linkakoa, nama yang dipakainya ketika bersama Bobatonya menyurati Gubernur Maluku Cornelis van der Duijn 15 Maret 1694.

Ketika Mau-Bilang meninggal dengan meninggalkan seorang putra, Binangkal datang dengan pengikutnya di Dauw dan diakui sebagai raja. Linkakoa sendiri kawin kembali dengan Intji Mannes, raja Taiwila, sekarang Tawaeli di Sulawesi Tengah. 

Campur tangan kerajaan-kerajaan tetangga dalam perselisihan Dauw dan Bolaang Itang sangat besar, bahkan Sultan Hasanudin dari Gowa Makassar sempat mencampuri dengan mengalahkan Binangkal. Perselisihan masih terus berlarut meski Belanda telah menanamkan kuasanya. Baru resmi berakhir di abad berikut ketika Kompeni Belanda menjadikan Bolaang-Itang sebagai kerajaan 'merdeka', lepas dari Kaidipang.

Raja Binangkal sendiri terungkap sudah sejak tahun 1675 menyatakan keinginannya menjadi Kristen Protestan seperti dicatat Ds.Gualtherus Peregrine yang mengunjungi Manado dan kemudian Kepulauan Sangihe-Talaud. Kepada Gubernur Padtbrugge dan Ds.Zacharias Caheing yang menyertai ekspedisi, Binangkal kembali menegaskan sikapnya untuk masuk Kristen bersama rakyatnya.

Hari Kamis 9 September, di sore hari, Gubernur Padtbrugge dan rombongan datang ke ibukota Kaidipang. Rumah raja dicatat Padtbrugge tidak berbeda dengan rumah penduduk lainnya, hanya lebih luas, memiliki sedikit furnitur, tapi banyak jaring ikan.

Padtbrugge di depan semua penduduk bertanya untuk mengetahui apakah itu pendapat dan keinginan mereka semua untuk menerima agama Kristen. Seluruh orang banyak berkata: ''Ya!''

Padtbrugge kemudian mengambil topi berpita emas perak dan memahkotai Raja Binangkal. Sang Raja sangat terpesona dengan topi mahkotanya. Digambarkan Padtbrugge raja 'masih mabuk' dengan topinya. Ini mungkin yang jadi cerita rakyat bagaimana kekaguman Raja Binangkal terhadap topinya sampai kelak memunculkan fam Korompot bagi keturunannya.

Seperti adat Kompeni, bagi raja dan para bobato Kaidipang dihadiahkan tanda kehormatan. Untuk Raja Binangkal Padtbrugge menyerahkan hadiah kebesaran berupa 4 ellen roode serfie, 1 zwaarten hoed (topi hitam), 1 Suratsen deken (selimut Surats) dan 1 ps roode Moeri. Untuk Jogugu 2 parkallen dan untuk Kapitein Laut 1 ps.parkal.

Terakhir Raja Binangkal bersama Gubernur Padtbrugge mengunjungi gereja yang baru dibuat.

RAJA WILLEM HINGGA DAVID
Raja Binangkal dicatat Padtbrugge tahun 1677 sudah berusia tidak muda lagi. Tahun 1702 telah bertahta Willem Korompot. Namanya ditulis sebagai Willem Cornput, sehingga dipastikan dialah raja pertama yang resmi memakai fam Korompot. Selain versi bahwa fam tersebut tercetus dari kekaguman Raja Binangkal atas topi (pet) mahkota berlambang kerajaan Belanda (crown), sangat membudaya masa itu para raja dan bangsawan di Keresidenan Manado menggunakan nama raja Belanda dan pembesar Kompeni untuk nama serani keluarganya. Nama Willem Cornput sendiri dikenal sebagai Gubernur Maluku di Ternate sebelum Padtbrugge di tahun 1675. Gubernur Willem Cornput pun pernah datang ke Manado. Hanya tidak diketahui pasti apakah Raja Binangkal pernah bertemu dengannya.

Raja Willem Korompot meneken kontrak tanggal 17 Maret 1702. Pertentangannya dengan para pembesar Bolaang Itang memuncak di masanya, sehingga Belanda dibawah Gezaghebber Jacob Boner melakukan rekonsiliasi kedua pihak di Benteng Orange Ternate 2 Juli 1727. Masa pemerintahannya, di tahun 1728 penambangan emas mulai diupayakan pengusaha Tionghoa bernama Simteenko alias Lim Teen Ko.

Willem Korompot memerintah duapuluh tujuh tahun lamanya. Karena usia lanjut, tanggal 20 Februari 1728 ia menyurat meminta izin untuk mengangkat putra sulungnya, Pangeran Albert Cornput sebagai raja baru Dauw atau Kaidipang.

Raja baru Albertus Korompot kelahiran tahun 1702 menggantikan ayahnya Willem Korompot, dilantik dengan meneken perjanjian tanggal 4 Agustus 1729  di Benteng Orange Ternate dengan Gubernur dan Direktur Maluku Jacob Christiaan Pielat untuk dan atas nama Gubernur Jenderal Mattheus de Haan. Dalam kontrak, jabatannya ditulis sebagai Raja Bolaang Itang juga Raja Dauw. Permusuhan lama dengan Bolaang Itang yang dipimpin Jogugu Claas Ponto berlanjut, keduanya bahkan saling mengadu kepada Gubernur Maluku di Ternate.

Tahun 1739 Raja Albertus Korompot meninggal, dan sebagai penggantinya diangkat saudaranya Jacob Korompot, yang naik tahta dengan meneken perjanjian di Benteng Orange Ternate 28 Agustus 1739. Di pihak Belanda diwakili Gubernur dan Direktur Maluku Marten Lelivelt untuk dan atas nama Gubernur Jenderal Johannes Thedens. Raja Albertus pun meneken kontrak yang diperbarui kembali 3 September 1742 dimana pihak Kompeni Belanda diwakili Koopman David van Petersom dan Onderkoopman Jan Walraven de la Fontaine, mengatasnamakan Gubernur Pieter Roselaer dan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn.

Jacob Korompot memerintah tidak lama. Ia meninggal bulan Desember 1747, dan digantikan Pangeran David Korompot sebagai pejabat. David Korompot  baru disahkan jadi Raja Kaidipang dan Bolaang Itang dengan kontrak yang dibuat di Benteng Orange Ternate tanggal 25 Mei 1750. Kontrak-kontrak sebelumnya yang dibuat masa Raja Willem, Albert dan Jacob diperbarui, apalagi dengan ekspoitasi emas di kerajaannya.

DARI TOEROEROE HINGGA MANOPPO
Raja terkenal di dekade ketiga dan keempat paruh pertama abad ke-19 adalah Mohamad D.Toeroeroe Korompot. Ia memerintah hingga tahun 1853. Kemudian naik tahta Kaidipang Tiaha Toeroeroe Korompot sejak 17 Agustus 1853.

Raja Tiaha Toeroeroe Korompot meneken kontrak tanggal 21 April 1855, dimana raja dan mantrinya menyepakati kerajaannya jadi milik Belanda dan mengakui Raja Belanda sebagai tuan tertinggi. yang (tentu saja) 'disetujui' Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dengan beslit 8 November 1855. Almanak van Nederlandsch-Indie 1855 dan 1858 mencatat nama lain Raja Kaidipang adalah Poetra Tiara.

Pengganti Tiaha Toeroeroe adalah Mohamad Noerdin Korompot, diangkat dengan beslit Residen Manado 8 Oktober 1859 nomor 172, dan dibeslit resmi sebagai Radjah oleh Gubernur Jenderal 5 Januari 1860 nomor 8, serta dilantik resmi 25 Februari 1860.

Mohamad Noerdin Korompot dengan gelaran Prins van Diets Korompoet meneken korte verklaring 18 Juni 1860 di Manado dengan Residen Casparus Bosscher dan disetujui Gubernur Jenderal Ch.F.Pahud 25 Oktober 1860. Selain Mohamad Noerdin Korompot, ikut bertanda kruis para mantrinya seperti Marsaole Kaito, Marsaole Abdul Karim dan Sangaji Dunuba. Raja Mohamad Noerdin berkuasa tidak lama. 

Tahun 1864 ia diberhentikan, diasingkan Belanda di Ambon, digantikan oleh Pangeran Gongalah Korompot. Gongalah Korompot awalnya bertindak sebagai pejabat Raja sejak 13 Maret 1865, lalu definitif ‘Radjah’ setelah di Manado meneken korte verklaring 23 Oktober 1865 dengan Residen Frederik Justus van Deinse, serta persetujuan Gubernur Jenderal 26 Mei 1866. Nama resminya ditulis juga Gongalat Korompoet. Ia memerintah sangat lama, dan meneken kontrak terakhir tanggal 21 September 1895 bersama Residen Manado Eeltje Jelles Jellesma.

Karena usia lanjut, ia meminta mundur, dan disetujui Gubernemen dengan beslit 3 Juli 1897 nomor 20, digantikan Pangeran Loei Gongalah Korompot. Untuk masa pengabdiannya yang panjang bulan Maret 1898 Gubernur Jenderal menghadiahi Gongalah Korompot penghargaan bintang perak untuk kesetiaan dan prestasi (Zilveren ster voor Trouw en verdienste).

Sebagai pengganti Raja Gongalah Korompot, dipilih para kepala dan rakyat adalah Loei Gongalah Korompot, semula sebagai President Raja, lalu diangkat raja dengan akte van verband di Manado tanggal 31 Agustus 1898 dengan Residen Manado Eeltje Jelles Jellesma dan saksi Kontrolir Nordtkust van Celebes J.G.Seriere. Pengangkatannya dikukuhkan dengan beslit Gubernur Jenderal van der Wijk 1 Desember 1898 nomor 4. Titel resminya adalah ‘Padoeka Radja Kaidipang’. Raja Loei yang juga dicatat dengan nama Louit Gongalah Korompoet meneken kontrak berikut 26 Mei 1901.

Raja Kaidipang terakhir adalah Manoppo Machmud Korompot, pernah menjabat Jogugu lalu President Raja setelah Raja Gongalah Korompot meninggal 23 Juni 1903. Ia yang menulis namanya juga sebagai Manoppo David Antogia baru diangkat resmi sebagai raja bertitel Paduka Raja di Boroko setelah meneken akte van verband dengan Kontrolir Bolmong Anton Christiaan Veenhuyzen 1 Maret 1904, dan dibeslit resmi 7 Juli 1904. Raja Manoppo meneken kontrak baru 14 Januari 1904, dan tambahan kontrak 19 Februari 1907 dengan Kontrolir Abraham Coomans. Ia memerintah hingga meninggal awal tahun 1910.

Pemerintahan dinasti Korompot berakhir ketika kerajaan Kaidipang digabungkan Belanda dengan Bolaang Itang. Meski kerajaan baru masih diembeli nama Kaidipang, dan kedudukan raja tetap di Boroko, tapi dinasti Ponto dari Bolaang Itang yang tampil sebagai penguasa. Raja Bolaang Itang Ram Soeit Ponto resmi bertahta di kerajaan Kaidipang Besar 26 April 1913, dan dikukuhkan dengan beslit Gubernur Jenderal 31 Juli 1913. ***

*). Dari koleksi Sammlungen den Staatsbibliothek zu Berlin (SSB)

BAHAN OLAHAN
Coolhaas, Dr.W.Ph., Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII. ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1960; dan dalam Historici nl..
Ensiklopedia Tou Manado.
Heeres, Jan Ernst, Frederik Willem Stapel, Corpus diplomaticum Neerlando-Indocum, vol.5, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage,1907. Buku Google. 
Padtbrugge, R., Het Journal van Padtbrugge's reis naar Noord-Celebes en de Noordereilanden (16 Aug.-23 Dec,1677), Bijdragen tot de Taal-Land en-Volkenkunde, XIII, 1867. Buku Google.
Regeeringsalmanak dan Almanak van Ned.Indie 1858, 1865,1870,1875,1885,1892,1900,1909.