Oleh: Adrianus Kojongian
Wanita Manado tahun 1821.*). |
Perilaku para pejabat kolonial Belanda di tanah jajahan aneka rupa. Ada yang baik, namun banyak pula yang jahat, sewenang-wenang dan sok kuasa. Di Tanah Minahasa, ada banyak pula pejabat demikian, seperti dipraktekkan Kontrolir Belang yang berkedudukan di Ratahan, kini ibukota Kabupaten Minahasa Tenggara.
Kontrolir
sendiri berasal dari kata Controleur, adalah posisi pejabat kolonial yang bertugas
mengontrol, mengawasi dan memimpin sebuah Afdeeling. Di Minahasa masa lalu, wilayah kekuasaan
sebuah afdeeling terdiri beberapa Distrik. Afdeeling Belang saat peristiwa
ini terjadi, tinggal mencakup dua distrik. Masing-masing: Distrik Tonsawang beribukotakan
Tombatu, serta bekas tiga distrik yang digabungkan satu, yakni Distrik Pasan-Ratahan
dan Ponosakan, beribukotakan Ratahan.
Kisah
sang Kontrolir yang sekedar disamarkan dengan nama Tuan Kontrolir X ini, terjadi
di penghujung abad ke-19, di masa berkuasanya Residen Manado Marinus Cornelis
Emanuel Stakman, yang dibeslit tanggal 22 Februari 1889.
Pelaksanaan
praktek Herendienst (kerja rodi) yang ekstra keras di masa pemerintahan Residen
Stakman sangat dikecam oleh para pejabat pribumi Minahasa, karena begitu
menyengsarakan penduduk. Kecaman mana muncul pula dari kalangan orang Belanda
sendiri, sampai ribut di berbagai media. Buntutnya, pemerintah tinggi di Batavia
mengirim Komisaris W.O.Gallois untuk mengusut, dan berpuncak dengan mundurnya Residen
M.C.E.Stakman, serta pengangkatan Eeltje Jelles Jellesma sebagai Residen Manado
yang baru pada tanggal 29 September
1892.
Kisah
ini sendiri disadur dari tulisan yang dimuat pada suratkabar De Locomotief, nieuws-, handels-en
advertentieblad, terbitan Semarang hari Kamis tanggal 16 Februari 1893
nomor 40. Penulisnya tidak dicatat namanya, bisa jadi Hulpprediker N.Rinnooy
yang bertugas di Ratahan selang 1887-1895, atau koresponden dan atau redaktur De Locomotief sendiri, bahkan pendeta sebelumnya Jan Nanes
Wiersma (1862-1881). Pendeta Wiersma sangat banyak menulis tentang Ratahan dan
selalu membela kepentingan penduduk di Afdeeling Belang dari kesewenangan
penguasa Belanda dan pribumi. Yang pasti, tulisan di koran ini serangkaian dengan
keberatan serta petisi dari Hukum Besar Pasan-Ratahan-Ponosakan Estephanus
Sahelangi kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang dokumennya kemudian
dimuat sebagai hasil penelitian pemerintah Hindia-Belanda di Soerabaiaish-Handelsblad hari Sabtu 9 Juli 1892, edisi nomor 156.
Di
masa itu, penduduk Pasan-Ratahan-Ponosakan sangat menderita. Pekerjaan
Herendienst membebani kaum pria yang harus membuat, memelihara dan dan juga memperbaiki
jalan, jembatan dan segala macam pekerjaan demi kepentingan umum. Padahal, jalan-jalan di Afdeeling Belang
sangat sulit, sempit dan
berliku-liku karena medannya
yang berbukit-bukit
dan tidak rata. Penulis menggambarkan kondisi
jalan saat itu. Ruas jalan dari Ratahan ke Bentenan menurun sampai 1.000 kaki. Lalu jalan dari Ratahan ke
Langowan yang hanya 6 paal, tapi
mendaki setinggi 1.200 kaki. Jalan tersebut telah dibuat dengan banyak sekali
usaha pada tahun 1874, masa Kontrolir George Alexander Wilken.
Sekarang,
di tahun 1891.
Selang
bulan Januari sampai Mei, selama enam hari penuh, sebanyak 60 orang bekerja Herendienst
tanpa henti. Akibat yang ditimbulkan, tak ada makanan, sebab kebun terlantarkan.
Kalau pun ada padi yang belum dipetik, bulirnya telah habis dimakan tikus, karena
penduduk tidak memiliki waktu untuk menyiangi kebunnya lagi. Kalau pun ada
penduduk yang berhasil memetik, hasilnya terlalu sedikit. Penduduk Kampung
Lisung, yang berada pada jalan ke pantai di sebelah timur, bahkan tidak
mendapatkan apa-apa sama sekali. Tragisnya, bahkan tidak ada benih padi untuk ditanam
tahun berikutnya.
Lama-kelamaan
penduduk merasa keberatan untuk pergi bekerja Herendienst, karena mereka harus
mencari makanan untuk kebutuhan keluarga. Buat menangkal rasa lapar, mereka terpaksa
memakan sagu, atau bahkan melahap buah-buahan.
Beratnya
pekerjaan Herendienst, serta ancaman kelaparan yang dialami penduduknya, tidak tertahankan
lagi. Estephanus Sahelangi, yang telah memimpin Pasan-Ratahan-Ponosakan selama
lebih sebelas tahun sebagai Hukum Besar sangat prihatin dengan kondisi rakyatnya.
Di bulan Mei 1891 ia pergi ke Manado yang terletak sejauh 40 paal dari Ratahan,
untuk menyampaikan langsung keluh-kesah
dan keberatan kepada Tuan Bangsawan Residen.
Residen
M.C.E.Stakman kemudian berkunjung ke Ratahan. Ia menyatakan aturan baru Herendienst dihentikan,
dan aturan lama berlaku kembali. Untuk mengatasi kelaparan, mantan
Asisten-Residen di Tapanuli Sumatera Utara ini memaksa penduduk untuk menanam
jagung. Penduduk melaksanakan perintahnya dengan menanam jagung secara besar-besaran.
Tapi, hasilnya sia-sia, karena masa itu sementara berlangsung musim panas yang
panjang. Penduduk semakin menderita. Beras sama sekali tidak ada di daerah itu.
Simalakamanya,
ketika kemudian penduduk bisa menuai jagung bulan Maret 1892, pekerjaan
tersebut justru mengorbankan waktu panen padi di bulan Juni 1892.
Lalu,
dikisahkan tentang Tuan Kontrolir X. Ketika bertugas memimpin Afdeeling Belang
berkedudukan di Ratahan, Tuan Kontrolir X masih berstatus bujangan, tidak
beristri. Ia digambarkan tidak berperangai seperti orang Kristen yang baik,
bahkan tidak sama sekali seperti laiknya seorang Hollanders.
Setelah
satu bulan di Ratahan, Tuan Kontrolir X pergi ke Tombatu. Di ibukota Distrik
Tonsawang ini ia tinggal selama beberapa waktu. Ketika ia kembali dari Tombatu
ke Ratahan, di jalan antara negeri Mundung dan Kuyanga, masih di Distrik
Tonsawang, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Bondy. Gadis tersebut belum
genap berusia duapuluh tahun. Tuan
Kontrolir X dan Petrus Momuat, putra Hukum Besar Tonsawang Semuel Momuat mengejarnya,
lalu membawanya ke Mundung.
Sang
gadis tentu saja tidak berani melawan tuan besar yang berkuasa. Ibu Bondy
segera ditemui, dan kepadanya dikatakan bahwa Tuan Kontrolir ingin membawa anak
gadisnya pergi ke Ratahan, dijadikan sebagai nyai. Seperti sang anak, ibunya
pun tidak berani menolak, apalagi mengetahui tuan besar yang menginginkan
anaknya itu adalah Kontrolir, wakil Tuan Bangsawan Residen. Kepadanya, Tuan Kontrolir X memberi uang sebesar 40
gulden, sebagai harga pembelian Bondy.
Maka,
sejak itu Bondy tinggal di Ratahan, menjadi simpanan Tuan Kontrolir X.
Ternyata,
meski Tuan Kontrolir X telah memiliki selir, ia tidak puas. Ia menyuruh Opas
bernama Adrianus Kawenas untuk mencari tambahan beberapa gadis lagi. Bujukannya
adalah mereka akan dijadikan sebagai anak asuh. Kawenas berhasil membujuk dua
anak gadis dari negeri Mundung, yakni Betje Kawenas dan Lina Borang. Lina
adalah putri dari Jehieskiel Borang, Kweekeling
(guru bantu yang belum lulus ujian guru) yang bekerja di Sekolah Gubernemen
Mundung, negeri masuk Distrik Tonsawang.
Anak
gadis lainnya yang berhasil dibujuk bernama Neeltje Kountur, berasal dari
negeri Molompar, eks Distrik Ratahan.
Ternyata,
mereka pergi ke rumah tinggal Kontrolir X di Ratahan, tanpa sepengetahuan
orangtuanya. Begitu juga dengan saudara
Neeltje, yakni Salmon Kountur. Ia kaget mengetahui adiknya tinggal di rumah
Kontrolir. Salmon ingin adiknya kembali ke rumah. Ia tidak dapat membayangkan
Neeltje akan hidup dengan Tuan Kontrolir yang diketahui tidak memiliki istri.
Namun,
ketika Salmon menemui Kontrolir, meminta adiknya dipulangkan, ia tidak
ditanggapi dengan baik. Tidak berputusasa, Salmon menemui J.Sahelangi, putra Estephanus
Sahelangi, Hukum Besar Pasan-Ratahan-Ponosakan. J.Sahelangi memiliki keberanian pergi kepada Kontrolir
untuk meminta dan mengambil kembali Neeltje. Karena gadis itu masih familinya. Maka,
mulai saat itu, hubungan Tuan Kontrolir X dengan sang Hukum Besar menjadi tidak
baik.
Tidak
lama setelah kejadian itu, Lina Borang dan Betje Kawenas melarikan diri dari
rumah Kontrolir dengan dibantu Bondy. Mereka tidak tahan lagi dengan perilaku
Tuan Kontrolir X yang nakal dan sangat buruk. Sebab, gadis-gadis yang tinggal
di rumahnya itu akhirnya mengetahui mereka bukannya hendak dijadikan anak asuh,
tapi mau dijadikan sebagai selir. Seringkali Lina diajak bermain oleh Tuan
Kontrolir X, lalu diciumi serta hendak ‘disakitinya’. Keduanya pun mengadukan
semua tingkah dan perbuatan Tuan Kontrolir X pada Bondy yang tidak berani berbuat
apa-apa, sebab sekedar nyai.
Ketika
Lina dan Betje lari, kebetulan Tuan Kontrolir X tidak ada di rumah. Ia harus berdinas
ke Bentenan, negeri bekas Distrik Ratahan di pantai timur. Begitu Tuan
Kontrolir X kembali ke Ratahan, seperti biasa ia mencari kedua gadis itu karena
ingin bermain bersama. Namun, Bondy memberitahukan kalau keduanya telah pulang
ke rumah orangtuanya.
Tentu saja Tuan Kontrolir X marah besar. Ia menyuruh Opas bernama Willem Poenoesingan mengejar dan menangkap keduanya dengan tuduhan telah mencuri uang sebanyak sepuluh gulden. Tapi, kedua gadis itu menyatakan mereka tidak mencuri uang tersebut. Uang tersebut, diberikan oleh Bondy sebagai pembayaran ketika mereka tinggal dan tentu saja bekerja di rumah Kontrolir.
Tentu saja Tuan Kontrolir X marah besar. Ia menyuruh Opas bernama Willem Poenoesingan mengejar dan menangkap keduanya dengan tuduhan telah mencuri uang sebanyak sepuluh gulden. Tapi, kedua gadis itu menyatakan mereka tidak mencuri uang tersebut. Uang tersebut, diberikan oleh Bondy sebagai pembayaran ketika mereka tinggal dan tentu saja bekerja di rumah Kontrolir.
Tuan
Kontrolir X tidak perduli, ia ingin mempidanakan kedua gadis muda tersebut.
Maka, mereka kemudian diadili oleh hakim pengganti. Lina dan Betje dihukum selama
satu bulan oleh pengadilan yang tidak adil dan berat sebelah, sementara Bondy tidak
dipanggil untuk didengar kesaksiannya.
Kemudian
ada kejadian lain, ada seorang gadis yang cantik bernama Barnetje, putri Dirk
Lengkej dari Liwutung, negeri bekas Distrik Pasan. Tuan Kontrolir X telah lama
mengagumi kecantikannya dan mengingininya.
Suatu
hari, Barnetje membersihkan kebun sawah baru di dekat jembatan Mangewoe, yang
terletak di jalan dari Liwutung ke Belang, negeri bekas Distrik Ponosakan.
Ketika
ia membakar alang-alang, bertiup angin selatan yang kuat, sehingga jembatan
Mangewoe terbakar. Hukum Besar Pasan-Ratahan Ponosakan membuat laporan kejadian
peristiwa itu. Tetapi, ia dipanggil oleh Tuan Kontrolir X, diminta bertindak
sebagai hakim, serta disuruh melakukan pemeriksaan yang teliti. Ketika Hukum
Besar Estephanus Sahelangi memerika kembali, dia terkejut, jembatan tersebut
telah diperbaiki oleh Dirk, meski bentuknya telah berubah dari
sebelumnya.
Dirk
mengaku telah memperbaiki jembatan Mangewoe dengan biaya sendiri. Padahal, Dirk
diyakini telah menerima uang muka dari Tuan Kontrolir X, yang melihat peristiwa
tidak disengaja itu sebagai peluang untuk memiliki Barnetje. Kecurigaan makin
kuat, karena Barnetje yang belum genap
berusia 14 tahun kemudian diambil Tuan Kontrolir X, tinggal bersama dengan
Bondy, sebagai nyai di rumahnya.
Kabar
bahwa Tuan Kontrolir X hidup bersama dengan gadis di bawah umur sangat
menghebohkan, dan akhirnya sampai ke telinga Residen M.C.E.Stakman di kota
Manado. Ia segera datang ke Ratahan untuk memeriksanya, sekaligus memeriksa sebuah
keberatan melawan Hukum Besar Ratahan yang telah diterimanya. Dari Ratahan, Residen
kemudian pergi ke Tombatu, dimana Dirk bersama
putrinya Barnetje datang menghadap kepadanya.
Tanpa
penyelidikan mendalam, Residen percaya saja kata-kata sang ayah, bahwa putrinya
Barnetje telah berusia 16 tahun. Residen Stakman tidak mau bersusah-susah menyelidiki
akte kelahiran Barnetje di register daftar kelahiran penduduk yang ada di
Kantor Distrik, atau pun buku baptisan yang dipunyai Pendeta Ratahan.
Di
Tombatu ini, datang pula Jehiskiel Borang, ayah Lina. Kepada Tuan
Bangsawan Residen, ia menyampaikan keberatan. Pertama, ia menyatakan putrinya
Lina, telah dihukum secara tidak adil, tanpa penyelidikan yang benar dan dihukum
selama satu bulan bekerja paksa membuat jalan. Kedua, ia melaporkan Tuan Kontrolir X
telah mempermalukan putrinya, dan melakukan
hal-hal kotor terhadapnya.
Tuan
Bangsawan Residen bukannya menolong dan memberi keadilan untuk Jehiskiel dan putrinya.
Justru, hari itu ia memecat Jehiskiel sebagai Kweekeling di Sekolah Gubernemen
Mundung. Nasib sang guru bantu begitu mengenaskan, karena beberapa bulan
kemudian Jehiskiel Borang secara resmi menerima beslit pemberhentiannya dari
Directeur van Onderwijs, Eeerendienst en Nijverheid di Batavia. ***
SUMBER KISAH:
-De Locomotief,
Nieuws-,Handels-en Advertentieblad, Semarang, No.40 Donderdag 16 Februari 1893. (Delpher Kranten).
LUKISAN:
Dari buku 'Reinwardt's Reis in den Indischen Archipel, in het jaar 1821', Ebook Google.
LUKISAN:
Dari buku 'Reinwardt's Reis in den Indischen Archipel, in het jaar 1821', Ebook Google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.