Kamis, 13 Maret 2014

Tuan Kontrolir X van Ratahan

             

 

 

 

 

                                                   Oleh: Adrianus Kojongian

 

 

 

 

 

 

Wanita Manado tahun 1821.*).



Perilaku para pejabat kolonial Belanda di tanah jajahan aneka rupa. Ada yang baik, namun banyak pula yang jahat, sewenang-wenang dan sok kuasa. Di Tanah Minahasa, ada banyak pula pejabat demikian, seperti dipraktekkan Kontrolir Belang yang berkedudukan di Ratahan, kini ibukota Kabupaten Minahasa Tenggara.

Kontrolir sendiri berasal dari kata Controleur, adalah posisi pejabat kolonial yang bertugas mengontrol, mengawasi dan memimpin sebuah Afdeeling.  Di Minahasa masa lalu, wilayah kekuasaan sebuah afdeeling terdiri beberapa Distrik. Afdeeling Belang saat peristiwa ini terjadi, tinggal mencakup dua distrik. Masing-masing: Distrik Tonsawang beribukotakan Tombatu, serta bekas tiga distrik yang digabungkan satu, yakni Distrik Pasan-Ratahan dan Ponosakan, beribukotakan Ratahan.

Kisah sang Kontrolir yang sekedar disamarkan dengan nama Tuan Kontrolir X ini, terjadi di penghujung abad ke-19, di masa berkuasanya Residen Manado Marinus Cornelis Emanuel Stakman, yang dibeslit tanggal 22 Februari 1889.

Pelaksanaan praktek Herendienst (kerja rodi) yang ekstra keras di masa pemerintahan Residen Stakman sangat dikecam oleh para pejabat pribumi Minahasa, karena begitu menyengsarakan penduduk. Kecaman mana muncul pula dari kalangan orang Belanda sendiri, sampai ribut di berbagai media. Buntutnya, pemerintah tinggi di Batavia mengirim Komisaris W.O.Gallois untuk mengusut, dan berpuncak dengan mundurnya Residen M.C.E.Stakman, serta pengangkatan Eeltje Jelles Jellesma sebagai Residen Manado yang baru pada tanggal  29 September 1892.

Kisah ini sendiri disadur dari tulisan yang dimuat pada suratkabar De Locomotief, nieuws-, handels-en advertentieblad, terbitan Semarang hari Kamis tanggal 16 Februari 1893 nomor 40. Penulisnya tidak dicatat namanya, bisa jadi Hulpprediker N.Rinnooy yang bertugas di Ratahan selang 1887-1895, atau koresponden dan atau redaktur De Locomotief sendiri, bahkan pendeta sebelumnya Jan Nanes Wiersma (1862-1881). Pendeta Wiersma sangat banyak menulis tentang Ratahan dan selalu membela kepentingan penduduk di Afdeeling Belang dari kesewenangan penguasa Belanda dan pribumi. Yang pasti, tulisan di koran ini serangkaian dengan keberatan serta petisi dari Hukum Besar Pasan-Ratahan-Ponosakan Estephanus Sahelangi kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang dokumennya kemudian dimuat sebagai hasil penelitian pemerintah Hindia-Belanda di Soerabaiaish-Handelsblad hari Sabtu 9 Juli 1892, edisi nomor 156.

Di masa itu, penduduk Pasan-Ratahan-Ponosakan sangat menderita. Pekerjaan Herendienst membebani kaum pria yang harus membuat, memelihara dan dan juga memperbaiki jalan, jembatan dan segala macam pekerjaan demi kepentingan umum. Padahal,  jalan-jalan di Afdeeling Belang  sangat sulit, sempit dan berliku-liku karena medannya yang berbukit-bukit dan tidak rata. Penulis menggambarkan kondisi jalan saat itu. Ruas jalan dari Ratahan ke Bentenan menurun sampai 1.000 kaki. Lalu jalan dari Ratahan ke Langowan yang hanya 6 paal, tapi mendaki setinggi 1.200 kaki. Jalan tersebut telah dibuat dengan banyak sekali usaha pada tahun 1874, masa Kontrolir George Alexander Wilken.

Sekarang, di tahun 1891.

Selang bulan Januari sampai Mei, selama enam hari penuh, sebanyak 60 orang bekerja Herendienst tanpa henti. Akibat yang ditimbulkan, tak ada makanan, sebab kebun terlantarkan. Kalau pun ada padi yang belum dipetik, bulirnya telah habis dimakan tikus, karena penduduk tidak memiliki waktu untuk menyiangi kebunnya lagi. Kalau pun ada penduduk yang berhasil memetik, hasilnya terlalu sedikit. Penduduk Kampung Lisung, yang berada pada jalan ke pantai di sebelah timur, bahkan tidak mendapatkan apa-apa sama sekali. Tragisnya, bahkan tidak ada benih padi untuk ditanam tahun berikutnya.

Lama-kelamaan penduduk merasa keberatan untuk pergi bekerja Herendienst, karena mereka harus mencari makanan untuk kebutuhan keluarga. Buat menangkal rasa lapar, mereka terpaksa memakan sagu, atau bahkan melahap buah-buahan.

Beratnya pekerjaan Herendienst, serta ancaman kelaparan yang dialami penduduknya, tidak tertahankan lagi. Estephanus Sahelangi, yang telah memimpin Pasan-Ratahan-Ponosakan selama lebih sebelas tahun sebagai Hukum Besar sangat prihatin dengan kondisi rakyatnya. Di bulan Mei 1891 ia pergi ke Manado yang terletak sejauh 40 paal dari Ratahan,  untuk menyampaikan langsung keluh-kesah dan keberatan kepada Tuan Bangsawan Residen.

Residen M.C.E.Stakman kemudian berkunjung ke Ratahan. Ia  menyatakan aturan baru Herendienst dihentikan, dan aturan lama berlaku kembali. Untuk mengatasi kelaparan, mantan Asisten-Residen di Tapanuli Sumatera Utara ini memaksa penduduk untuk menanam jagung. Penduduk melaksanakan perintahnya dengan menanam jagung secara besar-besaran. Tapi, hasilnya sia-sia, karena masa itu sementara berlangsung musim panas yang panjang. Penduduk semakin menderita. Beras sama sekali tidak ada di daerah itu.

Simalakamanya, ketika kemudian penduduk bisa menuai jagung bulan Maret 1892, pekerjaan tersebut justru mengorbankan waktu panen padi di bulan Juni 1892.

Lalu, dikisahkan tentang Tuan Kontrolir X. Ketika bertugas memimpin Afdeeling Belang berkedudukan di Ratahan, Tuan Kontrolir X masih berstatus bujangan, tidak beristri. Ia digambarkan tidak berperangai seperti orang Kristen yang baik, bahkan tidak sama sekali seperti laiknya seorang Hollanders.

Setelah satu bulan di Ratahan, Tuan Kontrolir X pergi ke Tombatu. Di ibukota Distrik Tonsawang ini ia tinggal selama beberapa waktu. Ketika ia kembali dari Tombatu ke Ratahan, di jalan antara negeri Mundung dan Kuyanga, masih di Distrik Tonsawang, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Bondy. Gadis tersebut belum genap berusia duapuluh tahun.  Tuan Kontrolir X dan Petrus Momuat, putra Hukum Besar Tonsawang Semuel Momuat mengejarnya, lalu membawanya ke Mundung.  

Sang gadis tentu saja tidak berani melawan tuan besar yang berkuasa. Ibu Bondy segera ditemui, dan kepadanya dikatakan bahwa Tuan Kontrolir ingin membawa anak gadisnya pergi ke Ratahan, dijadikan sebagai nyai.  Seperti sang anak, ibunya pun tidak berani menolak, apalagi mengetahui tuan besar yang menginginkan anaknya itu adalah Kontrolir, wakil Tuan Bangsawan Residen. Kepadanya, Tuan Kontrolir X memberi uang sebesar 40 gulden, sebagai harga pembelian Bondy.

Maka, sejak itu Bondy tinggal di Ratahan, menjadi simpanan Tuan Kontrolir X.

Ternyata, meski Tuan Kontrolir X telah memiliki selir, ia tidak puas. Ia menyuruh Opas bernama Adrianus Kawenas untuk mencari tambahan beberapa gadis lagi. Bujukannya adalah mereka akan dijadikan sebagai anak asuh. Kawenas berhasil membujuk dua anak gadis dari negeri Mundung, yakni Betje Kawenas dan Lina Borang. Lina adalah putri dari Jehieskiel Borang, Kweekeling (guru bantu yang belum lulus ujian guru) yang bekerja di Sekolah Gubernemen Mundung, negeri masuk Distrik Tonsawang.

Anak gadis lainnya yang berhasil dibujuk bernama Neeltje Kountur, berasal dari negeri Molompar, eks Distrik Ratahan.

Ternyata, mereka pergi ke rumah tinggal Kontrolir X di Ratahan, tanpa sepengetahuan orangtuanya.  Begitu juga dengan saudara Neeltje, yakni Salmon Kountur. Ia kaget mengetahui adiknya tinggal di rumah Kontrolir. Salmon ingin adiknya kembali ke rumah. Ia tidak dapat membayangkan Neeltje akan hidup dengan Tuan Kontrolir yang diketahui tidak memiliki istri.

Namun, ketika Salmon menemui Kontrolir, meminta adiknya dipulangkan, ia tidak ditanggapi dengan baik. Tidak berputusasa, Salmon menemui J.Sahelangi, putra Estephanus Sahelangi, Hukum Besar Pasan-Ratahan-Ponosakan.  J.Sahelangi memiliki keberanian pergi kepada Kontrolir untuk meminta dan mengambil kembali Neeltje. Karena gadis itu masih familinya. Maka, mulai saat itu, hubungan Tuan Kontrolir X dengan sang Hukum Besar menjadi tidak baik.  

Tidak lama setelah kejadian itu, Lina Borang dan Betje Kawenas melarikan diri dari rumah Kontrolir dengan dibantu Bondy. Mereka tidak tahan lagi dengan perilaku Tuan Kontrolir X yang nakal dan sangat buruk. Sebab, gadis-gadis yang tinggal di rumahnya itu akhirnya mengetahui mereka bukannya hendak dijadikan anak asuh, tapi mau dijadikan sebagai selir. Seringkali Lina diajak bermain oleh Tuan Kontrolir X, lalu diciumi serta hendak ‘disakitinya’. Keduanya pun mengadukan semua tingkah dan perbuatan Tuan Kontrolir X pada Bondy yang tidak berani berbuat apa-apa, sebab sekedar nyai.

Ketika Lina dan Betje lari, kebetulan Tuan Kontrolir X tidak ada di rumah. Ia harus berdinas ke Bentenan, negeri bekas Distrik Ratahan di pantai timur. Begitu Tuan Kontrolir X kembali ke Ratahan, seperti biasa ia mencari kedua gadis itu karena ingin bermain bersama. Namun, Bondy memberitahukan kalau keduanya telah pulang ke rumah orangtuanya. 

Tentu saja Tuan Kontrolir X marah besar. Ia menyuruh Opas bernama Willem Poenoesingan mengejar dan menangkap keduanya dengan tuduhan telah mencuri uang sebanyak sepuluh gulden. Tapi, kedua gadis itu menyatakan mereka tidak mencuri uang tersebut. Uang tersebut, diberikan oleh Bondy sebagai pembayaran ketika mereka tinggal dan tentu saja bekerja di rumah Kontrolir.

Tuan Kontrolir X tidak perduli, ia ingin mempidanakan kedua gadis muda tersebut. Maka, mereka kemudian diadili oleh hakim pengganti. Lina dan Betje dihukum selama satu bulan oleh pengadilan yang tidak adil dan berat sebelah, sementara Bondy tidak dipanggil untuk didengar kesaksiannya.

Kemudian ada kejadian lain, ada seorang gadis yang cantik bernama Barnetje, putri Dirk Lengkej dari Liwutung, negeri bekas Distrik Pasan. Tuan Kontrolir X telah lama mengagumi kecantikannya dan mengingininya.

Suatu hari, Barnetje membersihkan kebun sawah baru di dekat jembatan Mangewoe, yang terletak di jalan dari Liwutung ke Belang, negeri bekas Distrik Ponosakan.

Ketika ia membakar alang-alang, bertiup angin selatan yang kuat, sehingga jembatan Mangewoe terbakar. Hukum Besar Pasan-Ratahan Ponosakan membuat laporan kejadian peristiwa itu. Tetapi, ia dipanggil oleh Tuan Kontrolir X, diminta bertindak sebagai hakim, serta disuruh melakukan pemeriksaan yang teliti. Ketika Hukum Besar Estephanus Sahelangi memerika kembali, dia terkejut, jembatan tersebut telah diperbaiki oleh Dirk, meski bentuknya telah berubah dari sebelumnya.

Dirk mengaku telah memperbaiki jembatan Mangewoe dengan biaya sendiri. Padahal, Dirk diyakini telah menerima uang muka dari Tuan Kontrolir X, yang melihat peristiwa tidak disengaja itu sebagai peluang untuk memiliki Barnetje. Kecurigaan makin kuat, karena Barnetje  yang belum genap berusia 14 tahun kemudian diambil Tuan Kontrolir X, tinggal bersama dengan Bondy, sebagai nyai di rumahnya.

Kabar bahwa Tuan Kontrolir X hidup bersama dengan gadis di bawah umur sangat menghebohkan, dan akhirnya sampai ke telinga Residen M.C.E.Stakman di kota Manado. Ia segera datang ke Ratahan untuk memeriksanya, sekaligus memeriksa sebuah keberatan melawan Hukum Besar Ratahan yang telah diterimanya. Dari Ratahan, Residen kemudian  pergi ke Tombatu, dimana Dirk bersama putrinya Barnetje datang menghadap kepadanya.

Tanpa penyelidikan mendalam, Residen percaya saja kata-kata sang ayah, bahwa putrinya Barnetje telah berusia 16 tahun. Residen Stakman tidak mau bersusah-susah menyelidiki akte kelahiran Barnetje di register daftar kelahiran penduduk yang ada di Kantor Distrik, atau pun buku baptisan yang dipunyai Pendeta Ratahan.

Di Tombatu ini, datang pula Jehiskiel Borang, ayah Lina. Kepada Tuan Bangsawan Residen, ia menyampaikan keberatan. Pertama, ia menyatakan putrinya Lina, telah dihukum secara tidak adil, tanpa penyelidikan yang benar dan dihukum selama satu bulan bekerja paksa membuat jalan. Kedua, ia melaporkan Tuan Kontrolir X telah mempermalukan putrinya,  dan melakukan hal-hal kotor terhadapnya.

Tuan Bangsawan Residen bukannya menolong dan memberi keadilan untuk Jehiskiel dan putrinya. Justru, hari itu ia memecat Jehiskiel sebagai Kweekeling di Sekolah Gubernemen Mundung. Nasib sang guru bantu begitu mengenaskan, karena beberapa bulan kemudian Jehiskiel Borang secara resmi menerima beslit pemberhentiannya dari Directeur van Onderwijs, Eeerendienst en Nijverheid di Batavia. ***

SUMBER KISAH:
-De Locomotief, Nieuws-,Handels-en Advertentieblad, Semarang, No.40 Donderdag  16 Februari 1893. (Delpher Kranten).

LUKISAN:
Dari buku 'Reinwardt's Reis in den Indischen Archipel, in het jaar 1821', Ebook Google.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.