Selasa, 22 Januari 2013

Korban Eksekusi Jepang di Tomohon





Oleh: Adrianus Kojongian

 



Tokoh Tomohon dan Kapten Hidemaru Maeda di depan Gereja Sion. Di pintu digantung tulisan Kolonel Uroko Hashimoto.  *)



Dimana-mana Jepang bertindak tidak manusiawi, tidak terkecuali selama masa pendudukannya yang singkat di bekas Keresidenan Manado selang tahun 1942-1945. Hanya dari kota kecil Tomohon saja ada belasan korban yang dieksekusi mati baik dengan cara ditembak mati atau pun dipancung. Cara terakhir ini paling banyak dilakukan sang algojo, Hideo Yamada yang oleh penduduk setempat sangat ditakuti dan lebih dikenal dengan sebutan Barewok, karena jambang-bauknya. 

Hebatnya, Barewok yang bertempat tinggal di Kamasi hampir setiap pagi suka memamerkan ketajaman golok samurainya untuk disaksikan masyarakat yang tengah beraktivitas di tengah kota, apakah hendak ke pasar atau pun ke tempat bekerja.

Sang Barewok akan beraksi dengan tampang sangarnya usai mengasah samurai. Ia bakal mengayun-ayunkan samurainya memainkan jurus-jurus kendo, yakni silat Jepang menggunakan pedang. Pemandangan demikian tentu mendatangkan kegentaran dan rasa ngeri bagi orang-orang yang lewat yang harus cepat-cepat membungkuk sedalam-dalamnya memberi penghormatan. Dia ditakuti, apalagi setiap pemenggalan yang dilakukannya, boleh malah seakan dirancangkan untuk dilihat oleh khalayak ramai.

Tempat pembantaian Jepang berlokasi di dua tempat di Kuranga, sekarang masuk Kelurahan Talete Dua Kecamatan Tomohon Tengah Kota Tomohon. Pertama di lapangan bekas Normaalschool Protestan (Sekolah Guru Kristen) dimana kini telah berdiri kantor Sinode GMIM yang baru. Kemudian tempat eksekusi Kempetai, terletak di bagian belakang kantornya (sekarang ditempati kantor PLN Tomohon),  sekitar 200 meter dari lokasi pertama.

Kepala Kempetai Tomohon. *)

Memang, Jepang bertindak tegas terhadap siapa pun yang dianggap sebagai mata-mata dan kaki tangan Belanda, bekas KNIL yang bergerilya (Gorela), terlebih bagi orang yang dicapnya sebagai penjahat. Ada yang digelandang terlebih dulu ke kantor polisi (tokei) yang berlokasi di pusat kota, menempati rumah bekas direktur STOVIL (sekolah pendeta) di Paslaten. Kepala tokeinya bernama Kamiura berdiam di Walian, sekitar 2 kilometer selatan kota.
  
Yang diperiksa di kantor Tokei banyak masih selamat karena wakil kepala polisinya adalah sesama orang Manado, Wariki, Butje Oroh, Mamahit, Pelenkahu dan Wim Kumontoy, seorang mantan KNIL. Selain itu Kepala Distrik Kedua Tomohon, Hukum Kedua (camat masa ini yang masa Jepang disebut Huku Guntjo) Ryclof Constantyn Lodewijk Lasut, biasa disapa Notji atau RCL, turut berperan meminimalisir korban Jepang di Tomohon. Tokoh ini kelak di tahun 1944 diangkat Jepang menjadi Guntjo (hukum besar kepala distrik, rank wedana di Jawa).

Namun tersangka yang dibawa ke kantor Kempetai (polisi militer) di Kuranga, lokasi di Talete Dua itu tidak bakalan selamat, karena nasibnya seakan sudah divonis, yakni mati.

R.C.L.Lasut dalam atribut Hukum Kedua. *)


Arie Michail Mandagi, mantan Kepala Distrik Tomohon dan Wakil Bupati Minahasa angkatan Permesta mengungkapkan, selain faktor di atas, ‘dendam’ Jepang kemungkinan sebagai balas dendam atas penangkapan Yamata, seorang perwira angkatan laut Imperial Jepang yang di tahun 1930-an masuk Tomohon dan bertindak sebagai mata-mata. Yamata menyamar sebagai pedagang, membuka toko sandang-pangan di Kamasi (belakangan menjadi gedung bioskop Sonya dan kini supermarket). Tokonya merupakan toko terlengkap dan paling besar di Tomohon.

Yamata yang terkenal ramah ternyata sering membantu masyarakat sekitar dengan memberi persenan atau potongan harga bagi mereka yang berbelanja di tokonya. Ia memiliki lebih sepuluh kendaraan yang uniknya semuanya diberi nama ‘Matahari Terbit’ sebagai tanda kebanggaan atas tanah airnya. Seorang anak dari Kolongan diangkatnya sebagai anak pungut.

Sebelum penangkapannya oleh pemerintah Hindia-Belanda menjelang Perang Pasifik pecah, ia sempat menyelenggarakan pesta besar-besaran yang sangat meriah di Kamasi ketika menyambut para awak kapal perang Jepang yang berpesiar di Tomohon dalam kunjungan muhibahnya di daerah ini. Nasib Yamata tidak diketahui setelah ditangkap pemerintah Hindia Belanda sebelum Manado diduduki Jepang. Konon, seperti anggapan banyak penduduk Tomohon saat itu, ia telah dibunuh Belanda dengan dikenai pasal mata-mata.
 
Yamada, sketsa interniran di kamp Louwerierschool Kaaten. *)

Korban eksekusi pertama di Tomohon adalah Tobias Lucas, asal Lesa Tagulandang Sitaro yang dalam pasukan KNIL berpangkat Fuselier. Lelaki kelahiran 27 November 1911 itu  dibunuh tanggal 11 Januari 1942. Jepang marah besar setelah sejumlah tentaranya tewas akibat penghadangan oleh pasukan Reserve Corps pimpinan Letnan W.G.van de Laar di Tinoor hari itu. Kemarahan belum reda, esok harinya, kembali serdadu KNIL bernama Eng Tjoan Lie --seorang keturunan Tionghoa kelahiran Tahuna Sangihe 2 Maret 1902-- yang ikut ditangkap, dipancung di Kuranga.
  
Penangkapan besar-besaran segera dilancarkan. Frans Rindengan, Hukum Tua Tinoor yang menjabat sejak tahun 1938 diciduk, buntut peristiwa Tambulinas Tinoor. Di Talete, Hukum Tua Jusop Mait (kelahiran 25 November 1881) yang dipilih tahun 1934 ditangkap karena dianggap antek Belanda. Jagoan anggar itu adalah pensiunan Sersan KNIL bergaji 105 gulden (rupiah) sehingga dijuluki Sersan Seratus Lima. Ditangkap bersamanya anaknya bernama Leendert Philips Mongdong Mait kelahiran Rurukan Tomohon 7 April 1904, seorang pensiunan jurutulis bagian personalia (Gep.Staf Schrijver) KNIL. Seorang anak lain Jusop Mait selamat, karena masih kecil.

Frans Rindengan dan Jusop Mait dibawa ke Manado, dan dipancung tanggal 13 Februari 1942 di Gunung Wenang Manado bersama sejumlah tokoh masyarakat Tionghoa Manado (baca: Akhir Tragis Lie Tjeng Lok, Konglomerat Tempo Doeloe). Leendert P.M.Mait, anak Jusop Mait dieksekusi di Kuranga 19 Februari 1942 bersama-sama Johannis Pangemanan, warga Talete lainnya.

Nani, panggilan Johannis (kelahiran Talete, 16 Maret 1910) seorang sopir (Cfr.D.V.O.KNIL). Ia dituduh menyembunyikan peti uang Belanda. Menurut kisah, ketika Belanda terdesak dan melarikan diri terutama liwat Rurukan banyak peti uang dibuang begitu saja, dan Nani beralasan hanya memungutnya. Alasan mana tidak diterima, dan hukumannya mati.
 
Serdadu Kempetai di area kantornya saat ditahan Sekutu. *)
                                          
Berikutnya, Henri Albert Tronchet, perwira muda KNIL berpangkat Letnan. Pria kelahiran Sarongsong Tomohon tanggal 1 Mei 1909 yang biasa dipanggil Harry atau Ary itu dicari-cari Jepang. Pencarian mana berbuntut pada para pemimpin Kampung Jawa Tomohon, negeri mayoritas Islam yang didirikan oleh tokoh-tokoh perlawanan asal Banten yang diinternir Belanda ke Tanah Minahasa seabad silam. Penangkapan besar-besaran dilakukan. 

 ‘’Jepang melakukan penggerebekan, dan karena tak ada yang mengaku menyembunyikan Ary Tronchet, para pemimpin Kampung Jawa  ditangkap, dibawa ke kantor Tokei di Paslaten lalu ke kantor Kempetai di Kuranga Talete,’’ kisah Haji Hassan Tubagus, tokoh masyarakat Kampung Jawa Tomohon yang beberapa dekade menjabat Imam di Masjid ‘Nurul Iman’ Kampung Jawa Tomohon, sekaligus saksi mata peristiwa tersebut.

Mereka yang ditangkap dan diinterogasi intensif adalah Djakaria Kyai Demak yang sementara menjabat Hukum Tua Kampung Jawa. Berikutnya, mantan Hukum Tua Umar Hadji Ali, tokoh masyarakat Tubagus Arsad, Aminullah Masloman seorang kepala jaga serta Ustad (guru agama) Said Elong.

Tubagus Arsad dan Said Elong, kakak dan ipar Haji Hassan, akhirnya dibebaskan karena dapat memberikan alibi masuk diakal. Namun Hukum Tua Djakaria yang dianggap paling bertanggungjawab sebagai pemimpin negeri, bersama-sama mantan Hukum Tua Umar Hadji Ali dan Aminullah Masloman segera digiring ke lapangan bekas Kweekschool NZG. Disana ketiganya kembali diusut, tapi terus mengaku tidak mengetahui.

Ketiganya pun disuruh menggali lobang. Usai menggali saat ditanya Djakaria mengatakan ia memiliki kartu pas. Petugas memeriksa keabsahan kartu yang diperlihatkannya, dan serta merta ia dibebaskan. Tapi, tidak demikian dengan Djakaria dan Aminullah Masloman. Seketika mereka dibunuh di depan lobang galiannya.

Harry Tronchet yang memperistri Mas Engelen dan ayah dari Vons dan Vonny akhirnya ditangkap di persembunyiannya di Sawangan Sonder, masih berdekatan Kampung Jawa. Ia dibawa ke Manado, dan dieksekusi mati 20 Maret 1942 di lokasi Gunung Wenang Manado.
 
Dari Kamasi, ditangkap Karel Pandeirot, seorang soldadu KNIL. Ia dibawa ke kantor Kempetai. Ketika pemeriksanya lengah, ia meraih samurai di meja, melompat dari jendela lalu lari menyeberangi ruas jalan raya Tomohon-Manado ke arah barat dengan melewati pematang-pematang sawah. Tindakannya sangat nekad. Sambil lari ia melakukan harakiri ala Jepang, menusuk perutnya dengan samurai, dan akhirnya tewas di areal kebun sawah tersebut. Serdadu KNIL lain Yoseph Kainde, ditangkap di Woloan dan dibunuh di Kuranga. Tuduhan baginya selain sebagai gorela, adalah ancaman mau membunuh Huku Guntjo R.C.L.Lasut.

Bekas kopral KNIL Wahani, Lontoh Wowiling dan George Polii (ada menyebutnya George Pinontoan) berasal Paslaten dibunuh ‘divonis’ penjahat dengan tuduhan membunuh seorang Tionghoa tukang blik bernama Chai Chi. Penangkapan baru berlangsung mulus setelah orangtua mereka, istri dan anak-anak mereka bahkan Hukum Tua Paslaten diancam akan ditangkap dan ikut dibunuh bila tidak segera menyerahkan diri.

Dari mereka bertiga, Lontoh Wowiling yang bikin geger. Ia ditakuti serta dianggap mempunyai ilmu kesaktian. Jepang selalu gagal menangkapnya, bahkan Lontoh mencemohi para pemburunya dengan berteriak-teriak lantang (ba kukuk) dari Bukit Kilapong di kaki Gunung Masarang. Namun, setelah keluarganya ditahan ia terpaksa menyerah. Saat dieksekusi, samurai algojo Jepang ternyata tidak mempan memenggal kepalanya. Ia diancam memberitahu kelemahannya kalau tidak seluruh keluarganya termasuk Notji istrinya akan dibunuh. Konon, ia memberitahu kekuatannya ada pada tali pusar (pusak) yang ditanam di bawah tangga rumahnya. Baru eksekusinya berjalan lancar. 

Menurut penuturan, ada banyak lagi orang, kebanyakan bekas KNIL dari luar Tomohon yang dieksekusi Jepang di Kuranga, namun dilakukan secara diam-diam. Dua penerbang Sekutu asal Australia (salah seorang wanita) yang pesawatnya ditembak jatuh di Wawo Walian awal 1945, disiksa sambil dipertontonkan kepada masyarakat Tomohon di lapangan depan gereja 'Sion' Talete Tomohon sebelum dibawa ke Manado dan dihukum mati. Di bawah guyuran hujan deras, para penonton disuruh menyanyi dan berjel-jel : ‘’Amerika kita seterika, Inggris kita linggis.’’ 

Paling akhir sebelum Jepang menyerah kepada Sekutu, mereka menangkap Huku Guntjo Tomohon Jelles Sumayku, wakil dari R.C.L.Lasut yang telah naik sebagai Guntjo, serta wakil kepala Tokei Tomohon Wim Kumontoy. Keduanya dibawa ke Tondano, dan dengan tuduhan sebagai mata-mata Sekutu, dieksekusi awal tahun 1945. ***



    *).Foto Koleksi Kel.R.C.L.Lasut/Bode Talumewo, nla.gov.au, KITLV


SUMBER PUSTAKA: 
Adrianus Kojongian, ‘’Tomohon Dulu dan Kini’’
Adrianus Koj ongian dkk, ‘’Ensiklopedia Tou Manado’’ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.