Oleh: Adrianus Kojongian
SUDAH sejak lama, orang Manado terkenal di dan ke mana-mana sebagai kaum pemberani, jago berkelahi, pantang mundur, dan
paling utama kebal.
Banyak kisah, bahkan telah bermula lewat
hikayat-hikayat leluhur Minahasa, leluhur Bolaang-Mongondow—juga Sangihe dan
Gorontalo menggambar saktinya tokoh-tokoh yang tak terkalahkan, tidak mempan
oleh pedang, bahkan timah panas.
Di masa Permesta, kesaktian tokoh-tokoh
militernya, bahkan serdadu biasa pun tersiar dengan harum. Ketika itu, hampir
saban negeri Minahasa memiliki tokoh idol yang melegenda, karena butir peluru
tidak tembus, dan mental begitu saja. Konon, cuma ‘penyalahgunaan’ poso Opo, yang bakal menghapusnya. Kisah
mantan ‘Kapten’ Permesta Pieter Tumurang dan Komandan Brigade 999 Permesta ‘Brigjen’
Jan Timbuleng selalu dicontohkan dalam cerita nostalgia kalangan mantan
Permesta, betapa kebal pun, kalau melenceng, apalagi melanggar pantang,
sanksinya ilmu raib, dan umpama dalam kancah pertempuran, akan tewas disabet
pedang, atau tertembus peluru.
‘Mandi kabal’ sebelum berperang telah
dilakoni sejak awal, ketika masa keemasan para pahlawan Minahasa. Meski Tumalun
yang pendek mengalahkan raksasa Pareipei dengan siasat, namun sebelum
pertempuran yang legendaris berabad-abad silam itu, ia telah dibekali
kesaktian, dan yang penting mandi kabal.
Para ksatria Minahasa tempo dulu tidak
sekedar dibekali jurus-jurus berkelahi, tapi juga dibuat dan sengaja mencari
ilmu kekebalan. Lalu ketika datang kaum kolonialis, ketika orang Minahasa
berperang mengusir Spanyol di tahun 1644, lalu juga berperang melawan Belanda
di tahun 1808 di Tondano, mandi kabal pun massal dilakukan.
Kemudian, ketika orang Minahasa mulai
tertarik menjadi soldadu Kompeni sejak awal --dan terutama-- di pertengahan
abad ke 19, sudah lazim pula, calon soldadu sengaja dimandikabalkan di
negerinya oleh para Opo lewat tangan-tangan Walian dan Tonaas. Walian dan
Tonaas ada di hampir tiap negeri Minahasa, karena tiap negeri Minahasa --ini
terutama terjadi di peralihan abad tersebut-- mempunyai pemuda yang berminat dan
biasanya selalu diterima menjadi soldadu.
Maka, kemudian, terkenal di era Hindia-Belanda, kisah-kisah
para soldadu berasal Minahasa yang membantu Belanda menumpas para pelawan dari Maluku,
Jawa, Lombok, Bone, Kalimantan, Sumatra Barat dan paling melegenda dari berbagai
kancah pertempuran di Aceh.
Semua bermula pada Perang Patimura di
Maluku. Orang-orang Minahasa mulai
tertarik menjadi soldadu. Sampai tahun 1924 pasukan berasal Minahasa sengaja
digabungkan dalam kesatuan Ambon, terkenal dengan sebutan Amboineesche. Sejumlah Kawanua berhasil menjadi perwira pribumi di
dekade awal dan kedua abad ke-19, meraih pangkat Letnan, karena keberaniannya.
Perang Diponegoro memunculkan banyak
perwira tituler Minahasa yang masyur. Keberanian serta keperwiraaan Tololiu
Dotulong, Komandan Hulptroepen Minahasa, dengan para letnannya, juga Komandan
Hulptroepen Gorontalo, terutama dua letnannya Hadju dan Matalie, tersiar
kemana-mana. Mereka dikisah turun-temurun sampai saat ini—yang banyak makin
berbunga-- tidak mempan keris, pedang, tombak, dan timah panas. ‘’Senjata lawan
seperti menusuk angin, tidak berbekas. Pelor cuma malentek,’’ demikian biasa dihikayatkan para penutur.
PENANGKAP DIPONEGORO
Kehebatan Mayor Tololiu dengan Letnan (lalu
Kapten) (Benjamin Thomas) Sigar dari Langowan, Letnan Hendrik Jacob Supit dari
Tondano, Letnan Sondag Palar dari Sonder dan Letnan Mandagi dari Sarongsong, melegenda
di kalangan keturunannya. Bahkan, mereka disebut sebagai penangkap langsung
Pangeran Diponegoro.
SUDAH sejak lama, orang Manado terkenal di dan ke mana-mana sebagai kaum pemberani, jago berkelahi, pantang mundur, dan paling utama kebal.
Penangkapan Diponegoro, lukisan Raden Saleh. *) |
Kisah penangkapan Diponegoro malah telah berbumbu ada uji sakti dulu, seakan masih dalam suasana pertempuran. Skenario sejarahnya mengungkap Diponegoro ditangkap dalam perundingan setelah pengiringnya dilucuti. Memang, kemungkinan besar pasukan yang melakukan pelucutan lalu penangkapan adalah kesatuan berasal Hulptroepen Minahasa. Berita-berita mengungkapkan Diponegoro di tanggal 27 Maret 1830 hanya bersedia menyerahkan diri kepada pasukan Tulungan Minahasa, dan ia berulangkali mengutarakan kekagumannya terhadap keberanian Mayor Tololiu.
Mencari bukti sejarah peran pasukan
Hulptroepen Minahasa dalam Perang Jawa 1825-1830 itu cukup sulit. Namun,
tergambarkan sekali ketika perang berakhir dan Raja Belanda Willem membagi-bagikan
penghargaan dan tanda jasa keberanian ridder serta medali kehormatan untuk
orang-orang yang dianggap sangat berjasa di tahun 1831. Ternyata, tidak ada
satu pun orang dalam pasukan Hulptroepen Minahasa yang memperolehnya.
Tanda jasa keberanian Belanda tertinggi dengan
beslit kerajaan ketika itu, tentu saja Militaire Willems Orde (MWO) yang berjenjang
dari Grootkruis, Ridder klas 2 atau Komandeur, Ridder klas 3 dan Ridder klas 4. Kemudian ada
medali-medali untuk keberanian dan loyalitas, yakni Gouden Medaille (medali emas), serta Zilveren Medaille (medali perak). Saat itu pun, spesial diserahkan
Komandeur dan sejumlah rang Ridder Orde van den Nederlandschen Leeuw.
Di tahun 1831 itu, hanya ada satu orang
Minahasa yang menerima ridder, yakni
Abraham Donatius Wakkary, mendapatkan Ridder Militaire Willems Orde Klas
4. Dalam daftar penerima, namanya ditulis Wakkarie dengan pangkat opp.wachtmeester (Sersan Kepala), asal kesatuan Kavaleri (Hussaren). Dari 25
orang penerima medali emas dan perak tidak ada nama Tololiu Dotulong atau pun
para letnannya. Dari sekian banyak pasukan Hulptroepen yang ikut membantu
Belanda menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro, dari peringkat terbawah tanda
jasa, yakni medali emas dan perak, yang menerima hanya komandan dan perwira Troepen
Yogyakarta, Legiun Mangkunegara, Hulptroepen Sultan Madura, Hulptroepen Sultan Sumenap, dan beberapa
perwira serta bintara infantri, Jayang Sekar dan Amboineesche.
Terdapat nama Mayor Koelabath, Komandan
Hulptroepen Ternate, serta Komandan Hulptroepen Tidore Mayor Saffi-oed-din. Koelabath atau Koelbat memimpin 550 orang
Hulptroepen Ternate, dan Saffi-oed-din 300 orang. Tentu saja, jumlahnya kecil
dan sedikit berbanding pasukan Tulungan Minahasa (disebut Menadoneesch) pimpinan
Mayor Tololiu Dotulong yang berjumlah 1.600 orang.
Dibalik itu, tentu terdapat penilaian
Letjen H.M.de Kock Komandan tertinggi tentara Hindia-Belanda serta para perwira tingginya, ketika itu, bahwa peran
komandan dan perwira berasal Hulptroepen Minahasa meski berani, tidak luar
biasa untuk menerima tanda jasa kehormatan Ridder mau pun medali. Mayor Tololiu
sekedar diberi pangkat tituler Groot Majoor, yang diterima juga oleh Abraham
Donatius Wakkary. Peristiwa penangkapan Diponegoro hanya lumrah di mata para
atasan, karena memang Diponegoro tidak bisa melawan lagi, terkepung kekuatan
militer di Magelang.
Baru di tahun 1833, karena desakan
mantan Residen Mr.Daniel Francois Willem Pietermaat, teman dekatnya ketika
bertugas di Manado, serta Residen Manado Joan Pieter Cornelis Cambier, maka di
bulan April, dari Residen Cambier ia menerima medali emas serta pedang
kehormatan bersepuh emas (Gouden
eere-sabel). Tololiu Dotulong kelak pula menerima uang pensiun sebesar
sembilan ratus gulden tiap tahunnya dengan pangkat tituler mayor. ***
SUMBER TULISAN:
Koninklijk Bibliotheek-Delpher Kranten (De Sumatra
Post 13 September 1939, dan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie 6 September 1939).
Google ebook (Gedenkschrift van den Oorlog op Java
van 1825 tot 1830, Jhr.F.V.A.Ridder de Stuers, Amsterdam Johannes Muller,
1847).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.