Oleh: Adrianus Kojongian
Pemberontakan Cilegon 1888. *) |
Di Tondano ada Kampung Jawa yang didirikan Kyai Modjo, dan di Tomohon pun ada Kampung Jawa yang didirikan para pejuang kemerdekaan berasal Banten. Wilayah Kampung Jawa Tomohon dulunya masuk pinggiran bekas kota Distrik Sarongsong, sekarang merupakan kelurahan di Kecamatan Tomohon Selatan. Penduduknya seratus persen Islam, dan lain dari itu tak ada yang mencolok membedakan dengan pemukiman sekitarnya yang berpenduduk Kristen. Lihat saja rumah-rumahnya, layaknya rumah orang Minahasa lainnya, bahkan bahasa pun, banyak penduduknya fasih berbicara Tombulu.
Kalau
ditanya siapa pendiri Kampung Jawa ini, penduduknya spontan akan menjawab
Tubagus Buang. Namun, siapa Tubagus Buang ini sangat misterius. Para tokoh
Kampung Jawa Tomohon di tahun 1980-an dan 1990-an meyakini Tubagus Buang
dimaksud adalah Ratu Bagus Buang, seorang pemimpin pemberontakan di Banten
tahun 1750-1752 yang berjuang bersama Kiai Tapa untuk mengenyahkan Kompeni
Belanda di Kesultanan Banten.
Pemberontakan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, menurut
penulis-penulis Banten, dipicu ulah Ratu Syarifah istri Sultan Muhammad Syifa
Zainul Arifin (1733-1750). Ia membuang putra mahkota, menyebar fitnah suaminya
gila sehingga ditangkap, lalu dengan persetujuan VOC, mengangkat menantunya sebagai sultan baru.
Kampung Jawa Tomohon. *) |
Maka, timbul pemberontakan dipimpin Ratu Bagus Buang, keponakan Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin, dan Kiai Tapa masih saudara seayah Sultan Muhammad Zainul Arifin. Tubagus Buang dikabarkan masih melakukan perlawanan di Banten hingga tahun 1757, dan dari versi Banten ia meninggal dan disebut dimakamkan di Pagutan Jasinga.
VERSI
Ada
pendapat lain yang menyebut Tubagus Buang dimaksud adalah Tubagus lebih
muda yang dibuang Belanda di periode 1850-an. Bangsawan Banten ini bernama asli
Tubagus Mansur, tapi karena dibuang lebih dikenal dengan julukan Tubagus Buang.
Menurut sejarawan Kampung Jawa Tondano Abdul Razak Tumenggung, Tubagus Mansur
ini adalah cucu dari Tubagus Buang. Ia dibuang ke Kampung Jawa Tomohon
bersama-sama Patih Tubagus Diningrat, Jaksa Tubagus Jayakarta, Demang Tubagus
Suramarja, Kadi Abu Salam dan Mas Djibeng. Mereka terlibat dalam pemberontakan yang
dikenal dengan nama Gudang Batu.
Pemandangan lain Kampung Jawa. *) |
Dari sejarah Banten, disebut tanggal 24 Februari 1850 terjadi kerusuhan dan pembunuhan Demang Cilegon yang tengah menginspeksi Rohjambu. Kerusuhan dipimpin Raden Bagus (Tubagus) Jayakarta, Tubagus Suramarja, Tubagus Mustafa, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad, Satus, Nasid, Asidin, Haji Wakhia dan Penghulu Dempol. Nama Tubagus Mansur tidak disebut, begitu pun Kadi Abu Salam dan Mas Djebeng.
Peran
Mas Djebeng atau Mas Jabeng ada disebut dalam pemberontakan di Banten tahun 1839
yang dipimpin oleh Ratu Bagus Ali, Pangeran Kadli dan dirinya. Mas Jabeng
disebut sebagai putra Mas Jakaria, pemimpin pemberontakan di Pandeglang tahun
1811 dan 1827.
Seperti siapa adanya mereka, tahun
kedatangan para tokoh Banten yang dibuang Belanda dan kelak bermukim di Tomohon
ini pun berbeda-beda versi. Ada menyebut tahun 1790, lalu 1816 dan juga 1875. Yang pasti adalah di tahun 1850-an penduduk Islam di Kampung
Jawa Tomohon, dicatatkan sebanyak 85 jiwa.
Masjid 'Nurul Iman'. *) |
Kampung Jawa sendiri baru memperoleh status negeri, dipimpin seorang Hukum Tua di tahun 1928.
KISAH DARI TOMOHON
Empat
tokoh Kampung Jawa Tomohon yang diwawancarai tahun 1980-an dan 1990-an, Haji
Hassan Tubagus (kelahiran 1914), saat itu Imam Masjid ‘Nurul Iman’ Kampung Jawa,
dan tiga mantan Hukum Tua: Abdulrahman Tubagus (kelahiran 1916), Rebo Tubagus
(kelahiran 1934), dan Djaber Tubagus, seyakin-yakinnya Tubagus
Buang, leluhur mereka, adalah seorang pemimpin besar pemberontakan Banten. ‘Ini
adalah cerita dari ayah saya Bustari Tubagus, bekas imam, yang diturunkan dari
ayahnya Tubagus Abdullah dan diturunkan langsung oleh ayahnya lagi Tubagus
Buang sendiri,’’ kisah Haji Hassan Tubagus (lihat silsilah).
Keminahasaan yang kental. *) |
Tubagus Buang adalah bangsawan tinggi Kesultanan Banten, menjabat Hulubalang. Malah, menurut Haji Hassan, Tubagus Buang masih sebagai cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit Fatahillah (Sunan Gunung Jati), pendiri Banten. Meski dari sejarah Banten, Fatahillah mendirikan Kesultanan Banten tahun 1527, sedangkan anaknya Sultan Hasanuddin memerintah Banten 1552-1570, sehingga terdapat jeda panjang.
Tubagus Buang sangat menentang Kompeni Belanda karena intervensinya terhadap Kesultanan Banten, terjadinya kemelaratan, pemerasan, pelecehan agama, pajak yang banyak dan sistem rodi yang membuat rakyat Banten menderita sekali.
Tubagus
Buang dengan pengikut-pengikutnya yang tidak membawa istri mereka mengawini
gadis-gadis Minahasa, terutama wanita-wanita dari Sarongsong, Sonder, Pineleng
dan Tondano. Tubagus Buang sendiri mengawini wanita berfam Supit dari
Lahendong, sehingga dikisahkan memperoleh hadiah perkawinan wilayah yang
meliputi Kampung Jawa kini. Dari istrinya itu, Tubagus Buang memperoleh 3 orang
anak lelaki, masing-masing: Tubagus Agus, Tubagus Baii dan Tubagus
Abdullah.
Kuburan Tubagus Buang hingga kini berada di tempat bernama Kayu Payung. Meski demikian, ada keturunannya yang mempercayai Tubagus Buang telah gaib ketika sedang bersembahyang. Sementara yang lain lagi menutur ia telah balik dan meninggal di Serang Banten.
Kuburan Tubagus Buang hingga kini berada di tempat bernama Kayu Payung. Meski demikian, ada keturunannya yang mempercayai Tubagus Buang telah gaib ketika sedang bersembahyang. Sementara yang lain lagi menutur ia telah balik dan meninggal di Serang Banten.
Selain
Tubagus Buang, para tokoh lain yang dibuang bersamanya dan bermukim di Kampung
Jawa Tomohon adalah Penghulu Abusalam, Mas Djebeng, Mukali, Abdur Rasjid, Abdul
Wahid Abdul Haji, Abdur Rais dan lain-lain. Dari antara interniran Banten yang
mempunyai banyak keturunan hingga sekarang di Kampung Jawa, terutama adalah
Tubagus Buang sendiri, Penghulu Abusalam, imam pertama, bekas penghulu perang
di Banten (makamnya kini berada di Kampung Kodo Manado), serta Mas Djebeng.
Pengikut lainnya ketika Belanda melonggarkan pengawasannya, menyebar di
beberapa tempat di dalam dan luar Minahasa. Abdur Rasjid alias Islam adalah
anak Penghulu Abusalam. Sedangkan Abdul Wahid dan Abdur Rais tidak mempunyai
keturunan di Kampung Jawa.
Para pemimpin Geger Cilegon yang ditahan. *) |
Berikutnya, datang pula Kasim Maskun pada tahun 1888. Maskun semula adalah Lurah di Cilegon Banten. Ia terlibat dalam pemberontakan yang dikenal dengan nama Geger Cilegon yang tercetus tanggal 9 Juli 1888. Maskun digambarkan oleh keturunannya sebaga tokoh tinggi besar dan perkasa yang meninggal tahun 1926 dalam usia 117 tahun. Konon, Maskun berambut panjang menggerai hingga kaki, dan sampai berumur 110 tahun sangat kuat, masih memanjat kelapa dan dapat memikul ratusan biji kelapa.
Selain
para pejuang yang dibuang Belanda, gelombang pendatang kedua yang menghuni
Kampung Jawa Tomohon adalah pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan. Tokoh bernama
Lasambang dan Lakoro awalnya hanya menyinggahi pelabuhan Kema dan melihat-lihat
sambil berdagang. Tapi, kemudian merasa kerasan. Perahu layarnya ditinggalkan.
Dua pucuk meriam yang mereka bawa kemudian hilang tidak berbekas.
Para
interniran berasal Banten dan pedagang Bugis ini mendapat jodoh gadis-gadis
Minahasa dalam ajang baku blantek (barter). Biasanya para tibo-tibo (inang)
Minahasa terdiri kaum wanita. Sedangkan warga Kampung Jawa berkebiasaan membuat
gula aren yang dalam proses selanjutnya dibeli tibo-tibo dan dijual di pasar
Tomohon dan Manado. Dari pertemuan dan barteran itu terjadi
perkawinan-perkawinan campuran.
Rombongan
pengikut Tubagus Buang dan anak-istri mereka kelak ditambahi oleh
pemukim-pemukim dari Kampung Jawa Tondano. Ketiga keturunan pengikut tersebut
berbaur dan berketurunan. Perkawinan masyarakat Kampung Jawa Tomohon pun terjadi dengan
warga Islam di Manado, Pineleng, Belang, Bolaang-Mongondow dan Gorontalo.
Adat-istiadat Jawa dan agama Islam tetap mereka pelihara.
Hubungan kekerabatan
dominan penduduk Kampung Jawa dengan tanah asalnya Serang lama-kelamaan
terjalin kembali dan masih terpelihara dengan baik hingga kini. Dari penuturan
Rebo Tubagus, mantan Hukum Tua 1961-1964, di kota Serang ada sebuah tempat khusus. Lokasi di Kampung Kelapa Dua itu,
adalah tempat untuk menguji benarkah pejiarah dan pendatang dari Kampung
Jawa Tomohon asli keturunan Tubagus Buang.
PINDAH BERKALI
Awalnya
para interniran dibawah Tubagus Buang ditempatkan di lokasi Lembuyan Kakaskasen
Tomohon, bahkan ada menambahkan sebelumnya lagi pernah di Lota Pineleng, ketika
itu ibukota Balak Kakaskasen. Lalu dari Kakaskasen, mereka pindah di Papakanan
yang disebut pula Sumboyong (sekitar 1 kilometer dari Kampung Jawa). Tempatnya
dinamakan Papakanan karena konon dihuni jin-jin, sehingga penduduk harus
melakukan acara Semedi Adat dengan memberi sesajian untuk jin-jin itu.
Dari
Papakanan dipimpin Tubagus Buang mereka kemudian pindah bermukim di Lepo, kini wilayah
kebun sawah antara Walian-Lansot, dekat tempat bernama Mandei. Lalu dari Lepo,
tidak lama pula mereka pindah dan membangun kampung di sebelah selatan
(bagian barat Tumatangtang), pada suatu daerah hutan lebat yang di masa itu
terkenal sangat angker. Lokasi itu kini dinamai Lewet atau lebih dikenal
dengan nama Kayu Payung atau Kaiwangko (kayu besar), sekitar 2
kilometer selatan Kampung Jawa.
Disebut Kayu Payung, sebab sekitar pemukimannya
dinaungi seakan dipayungi oleh pohon besar itu, yang dipercayai mereka
dihuni jin-jin dan keramat. Di sini Tubagus Buang dan Mas Djebeng meninggal
dan dikuburkan.
Berhubung
pemukiman Kayu Payung dirasa terlalu jauh dari ibukota Distrik Tomohon,
juga jauh dari ruas jalan raya, serta jin-jin yang dipercaya ada di situ,
penduduk Kampung Jawa memindahkan negerinya pada tahun 1875 ke tempat sekarang.
Versi lain, pemindahan terakhir ini terjadi karena berjangkitnya
penyakit Luti Air (waterpoken, cacar air) yang menelan banyak
korban jiwa.
‘’Belanda
memang sengaja memperlakukan para interniran dan keturunannya sebagai
pekerja-pekerja paksa. Mereka menyiasati warga Kampung Jawa menyuruh membabat
hutan angker dan membuka pemukiman, lalu menyuruh pindah kembali,’’ kisah
Haji Hassan Tubagus, yang menjabat imam Kampung Jawa lebih 50 tahun.
Pembuatan kerupuk Kampung Jawa. *) |
Selain versi ini, eksodus warga Kampung Jawa, dari tuturan tua-tua yang lain berawal dari Kayu Payung, lalu ke Lembuyan di Kakaskasen, dan ke perkebunan Mandei. Dari sini penduduk berpencar, bergabung dengan warga Islam lain di beberapa Kampung Jawa.
Diceritakan ketiga anak Tubagus Buang, yakni
Tubagus Agus, Tubagus Baii dan Tubagus Abdullah yang memimpin pemindahan itu
beserta keluarganya. Mereka pergi ke Tanawangko (Tubagus Agus), Tumpaan
(Tubagus Baii) dan malah sampai ke Marisa di Gorontalo.
Baru
di tahun 1890, penduduk kembali berkumpul, dan mulai menghuni Kampung Jawa
sekarang. Dari keturunan Tubagus Buang, yang kembali ke Kampung Jawa adalah
Tubagus Abdullah dari Tanawangko. Keturunan Tubagus Buang yang ada di Kampung
Jawa berasal darinya.
SEMPAT KOSONG
Semula
Kampung Jawa administratip pemerintahan masih dipegang oleh Hukum Tua
Tumatangtang dan Lansot Sarongsong. Kampung Jawa dibagi atas 2 Jaga Kepolisian. Lalu di
tahun 1928 dengan persetujuan Kepala Onderdistrik Tomohon dan Kepala Distrik
Manado yang membawahinya, Kampung Jawa diresmikan menjadi sebuah negeri otonom.
Djasmani Tabiman yang fam aslinya Rifai dari garis keturunan pengikut Kyai
Modjo diangkat menjadi Hukum Tua Kampung Jawa pertama. Masanya, tahun 1921
tokoh Serikat Islam (SI), Haji Omar Said Tjokroaminoto mengunjungi Kampung
Jawa.
Kantor Lurah Kampung Jawa. *) |
Tahun 1942 Kampung Jawa mengalami kevakuman pemerintahan, tidak mempunyai hukum tua. Ini setelah Jepang mengeksekusi Hukum Tua Djakaria Kyai Demak dan Kepala Jaga Aminullah Masloman. Seperti sebelumnya, Kampung Jawa masuk Sarongsong, berbentuk 2 jaga, dengan kepala jaga wilayah Lansot Pet Prambahan dan kepala jaga wilayah Tumatangtang Montong Kyai Demak. Baru di tahun 1946 Kampung Jawa kembali berstatus negeri ulang, dipimpin Hukum Tua Montong Kyai Demak.
Masa
pergolakan daerah Permesta, Kampung Jawa sempat dibumihanguskan dan masjid
dijadikan dapur umum serta tahun 1959 terbakar. Penduduk lari mengungsi di
kebun-kebun, ke Tomohon dan Manado. Baru ketika Tomohon dibebaskan APRI (TNI),
sekitar 700-800 warganya diungsikan ke Manado dibawah Letnan Minu dari
Brawijaya. Setelah keadaan aman, penduduk kembali ke Kampung Jawa, dengan
pejabat Hukum Tua, ditunjuk Rebo Tubagus sejak bulan April 1961. ***
*). Foto koleks KITLV Digital Media Library dan foto-foto Kampung Jawa:
Didi Sigar dan Jootje Umboh tahun 2005 dan 2006.
SUMBER:
Tomohon Kotaku
Tomohon Dulu dan Kini
Berbagai tulisan tentang Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.