Selasa, 25 November 2025

Raja dan Ratu Siau meninggal karena cacar anak

 


Kerajaan Siau dan pulau wilayahnya.
NL-HaNA_4.MIKO_2658.2  



Banyak harapan ditujukan kepada Jacobus Xaverius sejak dilantik menjadi Raja Siau pada 1 Agustus 1696. Kompeni Belanda berharap dengan pengetahuan yang ditimbanya selama 8 tahun tinggal di Ternate, kefasihannya dalam berbicara dan menulis bahasa Belanda, maka apa yang dilihat dan dipelajarinya akan diterapkan ketika memerintah kerajaannya. 

Tapi harapan tersebut jauh dari kenyataan, bahkan mendatangkan kekecewaan yang besar bagi Gubernur Salomon Lesage yang telah melantiknya. Tidak ada kemajuan dalam pendidikan anak dan penyebaran agama pada penduduk. Sekolah hanya didatangi sedikit anak karena pergi ke hutan membantu orang tuanya. Penduduk juga jarang beribadah di gereja, karena banyak yang tinggal di hutan. 

Hampir setahun setelah Jacobus Xaverius menjadi raja, komisi Pedagang dan Fiskal Daniel Fiers dan Ajun Boekhouder Jan Walraven de la Fontaine yang berkunjung di Siau Juli 1697 menemukan kondisi kerajaan yang menyedihkan, dengan gereja tampak lebih cocok sebagai kandang kuda dari pada rumah Tuhan.  

Pehe, negeri kedudukan Raja Siau sangat memprihatinkan. Pertumbuhan agama serta pelayanan gereja dan sekolah ketinggalan dari pada negeri Ulu, Ondong atau Lehi, karena raja tidak bertindak apa-apa. 

Predikant Ternate Ds.Gillius Cammiga yang berkunjung di Pehe 25 September 1697 hanya menemukan 34 murid antaranya 4 anak perempuan di sekolah. Padahal ketika ia berkunjung tahun 1692 ada 70 murid dari 140 anak yang terdaftar. Bahkan Ds.Joannes Stampion yang membezuk sekolah dan gereja tahun 1695 masih mencatat sebanyak 68 murid. Pendeta Cammiga memindahkan guru Pehe Pieter Pays ke Dauw Kaidipang, menggantikannya dengan guru Thomas Naouhi dari Tamako. 

Raja Jacobus Xaverius tidak terlalu perduli dengan urusan pemerintahan, sedangkan para regent tersisa bersembunyi setelah Jogugu Jeronimo Daras dan Kapiten Laut Juan Noas meninggal. Penduduk menuntut keadilan menuduh pemerintahan para regent menyebabkan penderitaan karena mereka harus membayar pajak pendapatan tahunan berupa sejumlah uang atau padi atau hasil panen yang lain.  

Gubernur Salomon Lesage menuduh Raja Jacobus Xaverius melakukan hal-hal menjengkelkan dan kekanak-kanakan. Permasurinya Dona Catharina Statia yang berusia lebih tua darinya harus banyak campur tangan mengurus pemerintahan. 

Dengan keputusan Gubernur Salomon Lesage pada 1 Juli 1697 mantan jogugu Thomas Mahonis ayah Dona Catharina Statia diangkat kembali oleh Fiers dan de la Fontaine sebagai jogugu Siau pengganti Jeronimo Daras. Sedangkan mantan regent dan kapiten laut Santiago Manumpil dikembalikan menjadi kapiten laut menggantikan Juan Noas. 

Dalam surat kepada Gubernur Jenderal Mr.Willem van Outhoorn 26 September 1697 Lesage berpendapat dengan dibantu oleh mantri berpengalaman di bawah ayah mertuanya, Raja Jacobus Xaverius akan sedikit lebih baik. 

Perubahan memang terjadi. Ketika Ds.Joannes Stampion berkunjung kembali di Pehe 14 Agustus 1698 ia menemukan sebuah gereja baru dan rumah guru Thomas Naouhi yang juga baru. Meski Stampion masih memimpin kebaktian di rumah mendiang Raja Don Francisco Xaverius.

 

HARI SAMA

Ds.Abraham Feylingius yang membezuk sekolah Pehe 19 Juli 1700 melaporkan kemajuan berarti karena sekolah Pehe di bawah guru Thomas Naouhi sampai memiliki 116 anak murid. Sayang banyak anak meninggal karena cacar anak sehingga yang hadir di sekolah hanya 22 murid. 

Penyakit cacar anak menyebabkan banyak penduduk Siau tewas. Jemaat Kristen Pehe yang tahun 1698 ada sebanyak 1.111 orang, menurut Pendeta Feylingius tinggal 915 orang. Korban tewas di negeri Ulu bahkan mencapai 536 orang, belum korban dari negeri Ondong dan Lehi.   

Wabah cacar anak berjangkit sejak tahun 1700 di Maluku serta banyak tempat di Sulawesi Utara hingga Gorontalo dan menelan korban jiwa ribuan orang, baik anak-anak dan orang dewasa. Gubernur Pieter Roselaar masih menyebut dari laporan komisi yang berkunjung di Siau Desember 1701 adanya korban meninggal sebanyak 446 orang.   

Penyakit cacar anak ikut merengut pula nyawa Raja Jacobus Xaverius dan Ratu Dona Catharina Statia. 

Sang raja meninggal pada pagi tanggal 5 Mei 1701 diikuti tidak lama kemudian oleh permaisurinya Dona Catharina Statia di hari bersamaan. Usia Raja Jacobus Xaverius baru 24 tahun dan belum genap 5 tahun memerintah Siau. 

Dua saudara kandung Raja Jacobus Xaverius, yakni Jacobus Raramo dan bungsu David Manasaribu memperebutkan tahta sebagai calon raja pengganti.  

Tapi karena wabah penyakit cacar anak serta gangguan perdagangan, pemilihan raja baru tertunda-tunda. Untuk sementara waktu Gubernur Pieter Roselaar menunjuk Jogugu Thomas Mahonis menjalankan tugas pemerintahan sebagai regent.

Baru tanggal 12 Juli 1703 Jogugu Thomas Mahonis dan 4 mantri Siau tiba di Ternate, dan dalam pertemuan Dewan Maluku pada 28 Agustus, mereka memilih dari dua bersaudara Jacobus Raramo dan David Manasaribu, pangeran bungsu David Manasaribu sebagai raja baru Siau, karena dianggap cakap. 

David Manasaribu mengadopsi nama Xaverius atau Xavier dilantik Gubernur Pieter Roselaar menjadi Raja Siau yang baru di Kastil Oranje Ternate tanggal 10 September 1703.

 

 

REFERENSI:

 Sejarah Kerajaan di Kepulauan Sangihe, Sitaro dan Talaud, naskah.

H.B.Elias, Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Pulau Siau, Markas cabang Legiun Veteran RI Kotamadya Manado, 1973.

Hubert Jacobs, Documenta Malucencia, vol.III 1606-1682, Instititum Historicum Societatis Iesu (vol.126), Roma 1984.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.