Sabtu, 19 November 2022

Supit, Paat dan Lontoh

 



Lukisan Supit, Lontoh dan Paat (anonim, koleksi Bode Talumewo).




Kehidupan Supit, Paat dan Lontoh penuh diliputi misteri, dengan banyak mitos. Terutama peran mereka dalam sejarah Minahasa yang mendatangkan pujian tapi juga kritikan, kekuasaan yang begitu besar, sampai kisah-kisah mengenai kesaktian, termasuk kematiannya.


Ikut menimbulkan tanda tanya pula dominasi mereka terhadap kepala-kepala Minahasa berasal beberapa subetnis yang tinggal di Minahasa. Sementara ketiganya sama-sama berasal dari Tombulu.


Supit dari Tombariri, Paat dari Tomohon dan Lontoh dari Sarongsong (Tonsarongsong). Tiga bekas balak lalu distrik yang sekarang berada di Kota Tomohon. 


Ketiganya dalam silsilah-silsilah tua Minahasa dipercaya sebagai kerabat dekat. Dari legenda keturunannya, Lontoh adalah yang tertua, dan Paat termuda. Paat menyebut Lontoh dan Supit sebagai paman.

 

                Lihat: Silsilah Tombulu.

 

Sejumlah manuskrip era Kompeni Belanda koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia dan Arsip Nasional Negeri Belanda mengungkap sejumlah fakta lain tentang tokoh Minahasa paling berkuasa di paruh kedua abad ke-17 hingga dekade kedua abad ke-18.


Pertama, adanya dua kepala bernama Paat. Paat pertama berperan dalam perjanjian Minahasa dengan Kompeni Belanda 10 Januari 1679. Kemudian penggantinya Paat kedua yang dicatat dengan nama Rontom (Bantom) Paat terlibat pada perjanjian berikut yang berlangsung 10 September 1699. Rontom Paat telah menjabat hukum sebagai wakil Paat sejak tahun 1690-an.


Dari dua rekannya, Supit dan Lontoh, Paat pertama terlihat paling menonjol selama hampir dua dekade sebelum kematiannya tahun 1697. Berbagai laporan dan surat-surat pihak Minahasa atau surat-surat balasan dari Gubernur Maluku dari Kompeni di Ternate selalu menempatkan posisi Paat sebagai tokoh pertama. Kelak Supit menggantikan menjadi tokoh paling menonjol diikuti Lontoh dan Rontom Paat. Baru di dekade menjelang kematiannya, Rontom Paat berada di tempat kedua di bawah dari Supit.


Terungkap kalau pada awal kedatangan Belanda, Paat pertama dan Supit belum menjadi kepala-kepala negeri mereka. Keduanya masih sebagai officier (perwira) negeri, dengan pangkat kapiten yang memimpin prajurit negeri (waranei) yang disebut Belanda sebagai werbare mannen. Kedekatan dengan Belanda mengantar keduanya menjadi tokoh-tokoh puncak pada perjanjian 1679. 


Sejak masa itu peran mereka melampaui para Hukum kepala mereka. Bahkan mempengaruhi berbagai keputusan Kompeni Belanda terhadap kebijakannya atas Minahasa.


Apalagi ketika keduanya naik jabatan menggantikan hukum negeri masing-masing. Puncaknya ketika Belanda mengangkat sebagai pemimpin Minahasa bersama Lontoh dari Sarongsong. 


Ketiganya memperoleh gelar Hoofdrigter atau Hoofd Hoecum Majoor atau Kepala Hukum Majoor. Berada di atas dari para kepala negeri lain yang sekedar rigter, bergelar Hukum Majoor dan Hukum.


Dengan pangkat Kepala Hukum Majoor, Paat, Supit dan Lontoh, termasuk kemudian Rontom Paat, sangat berkuasa. Mereka menentukan pengangkatan para kepala lain termasuk mantri negeri (bobato). Banyak pelantikan kepala dan bobato Minahasa selang tahun 1690-an hingga tahun 1720-an adalah hasil campur tangan dan kuasa mereka.


Hal ini juga menyebabkan hubungan antara mereka tidak akur satu sama lainnya. Mereka sering terlibat perselisihan, sehingga harus diselesaikan komisi-komisi (Gecommitteerde) utusan Gubernur Maluku. Namun dalam berbagai surat ke Ternate, ketiga serangkai selalu kompak bertanda.


Temuan kedua dari berbagai manuskrip mengungkap masing-masing Paat, Rontom Paat, Supit dan Lontoh tetap menjabat posisi Kepala Hukum Majoor sepanjang sisa usia mereka. Dua diantaranya memerintah hampir selama 50 tahun. Lebih 20 tahun dalam jabatan Kepala Hukum Majoor.


Sebuah buku teks sejarah Minahasa menyebut Supit yang paling pertama dicopot dari posisi tersebut 12 Januari 1711. Kemudian Lontoh 12 Januari 1712 dan terakhir Paat tanggal 3 Februari 1722. Setelah diberhentikan dari jabatan Kepala Hukum Majoor, mereka disebut tetap tinggal kepala negeri masing-masing dengan pangkat Hukum Majoor.


Meski berbagai tindakan mereka sebagai kepala Minahasa banyak dikritik karena denda dan sering dianggap sewenang-wenang, dan praktek hukuman toktok tetap merajalela, mereka tidak pernah diberhentikan dari posisi tersebut. Supit, Lontoh dan Rontom Paat tetap memegang jabatan Hukum Majoor Kepala hingga mereka meninggal.


Ketiganya terakhir terlibat langsung memimpin dalam pembangunan Benteng Amsterdam dari batu di tahun 1720. Residen Manado Adriaan van Leene serta komisi Gubernur Maluku saat itu melaporkan Paat, Lontoh dan Supit berlomba-lomba mengerahkan langsung dan mengkoordinir para pekerja dari negeri mereka dan negeri Minahasa.

 

BERTURUT

Dari tiga serangkai paling akhir Supit, Lontoh dan Paat, tokoh pertama yang meninggal adalah Paat dari Tomohon. Ia meninggal tahun 1721.


Gubernur Jenderal Hendrik Zwaardecroon yang memerintah masa itu mencatatkan kematian Paat dalam laporannya ke Belanda tertanggal 20 Januari 1722.


Disusul Hoofdrigter Lontoh dari Sarongsong (Tonsarongsong) meninggal awal tahun 1723. Surat terakhir yang diteken Lontoh bersama Supit kepada Gubernur Anthony Heinsius tanggal 2 Oktober 1722. Tapi dalam surat kepala dan bobato Minahasa 23 April 1723 Lontoh tidak lagi bertanda. Residen Adriaan van Leene pada laporan tahun 1723 menyebut kematian Lontoh setelah Paat.


Terakhir meninggal adalah Kepala Hukum Majoor Supit dari Tombariri.


Supit masih mengusul pada Residen van Leene dan Jacob Cloek, gubernur pengganti Heinsius, pengangkatan Kapiten Majoor Rampang sebagai Hukum, Kapiten Tamboto Hukum Majoor dan Sersan Eman sebagai vandrig. Paling akhir, pengangkatan Kapiten Rumangkang dan Letnan Thomas Tidong awal tahun 1724.


Supit sempat menerima surat pula dari Gubernur Cloek 8 Mei 1724.


Tanggal 20 Desember 1724 Supit meninggal di Manado.


Residen van Leene melaporkan kematian Supit ke Cloek. Dan Gubernur Jenderal Mattheus de Haan 30 November 1725 mencatatnya dalam laporan ke Belanda. Bahwa, ‘’yang terakhir dari tiga Kepala Hukum Majoor, Supit meninggal.’’


Supit diwarugakan di ibukotanya, sekarang negeri tua Tombariri di lokasi Katingolan Woloan. Kemudian dipindahkan tahun 1845, di Woloan Dua. ***

 

 

 

REFERENSI

Coolhaas. Dr.W.Ph., Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, deel VI, ‘s-Gravenhage, 1976.

Godee Molsbergen, Dr.E.C., Geschiedenis van de Minahasa tot 1829, Weltevreeden, 1928.

Inventaris arsip Kompeni Belanda 1602-1795 (1811). Nationaal Archief Nederland.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.