Kamis, 26 Januari 2017

Tateli, Legenda Mandolang dan Pingkan









Oleh: Adrianus Kojongian





 

Parigi Pingkan di Ranowangko Tombariri. *).






Tateli, sekarang lima desa di Kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa adalah negeri Tombulu yang telah masyur sejak awal peradaban Minahasa. Telah berdiri jauh-jauh hari bahkan sebelum orang Minahasa berkenalan dengan bangsa asing dan suku-suku lain.

Legenda-legenda Tombulu kaya dengan kisah-kisah tentang Mandolang, negeri lama yang pernah mentereng di lokasi Tateli saat ini. Mandolang dihikayatkan telah ada sejak anak keturunan Toar-Lumimuut.

Penulis terkenal Dr.J.G.F.Riedel menyebut anak-cucu Toar-Lumimuut dari turunan se Makatelu-pitu, yakni Dotu Pangerapan dan Pontomandolang yang datang ke Mandolang, Keduanya beserta istri-istri mereka Kureisina, Rameipatola dan Raunpatola datang dari Tuur in Tanah, lalu mendirikan Soanga dekat Tateli, selain negeri Lumalengkei di Tanjung Pulisan. Nama Mandolang berasal dari tokoh Pontomandolang.

Setelah pembagian di Watu Pinawetengan, Tombulu mulai menyebar. Mandolang pun didiami. Namun, Mandolang banyak kali ditinggalkan ulang, karena gangguan para bajak laut asal Mindanau yang dikenal sebagai Mangindano yang melakukan pembumihangusan, pembunuhan dan penculikan kaum pria dan perempuan. Mandolang tetap didatangi penduduk Tombulu dan dari pedalaman lain Minahasa untuk mendonasin, mengambil garam.

Ketika itu, Mandolang mulai didatangi suku-suku lain. Perselisihan dengan pendatang tidak terhindarkan, menimbulkan banyak konflik tidak berkesudahan, terutama dengan pengayauan, dimana banyak penduduk Kakaskasen dan Minahasa umumnya sangat menderita. Terkenal di masa itu kisah Lokon Mangundap, pahlawan yang kemudian menjadi kepala di Tombariri. Dari cerita-cerita rakyat Kakaskasen, Tomohon dan Tombariri, Lokon Mangundap bersama Kalalo, Aper, Karundeng, Kapalaan dan Posumah (Riedel menyebut mereka Lokon Mangundap, Kalele, Aper, Karundeng, Kapongoan, Karumah dan Posumah) telah berhasil mengamankan Mandolang dan jalur mendonasin dengan memberantas para pengayau yang suka mengganggu penduduk Tombulu dan Minahasa lain yang pergi ke Mandolang untuk mengambil garam.

Kepadanya, Kepala Kakaskasen telah menyerahkan untuk menjadi milik orang Tombariri, tanah-tanah luas pula. Tombariri yang semula hanya meliputi kawasan Woloan sekarang dan sebelah selatan sungai Ranowangko hingga pantai barat liwat pegunungan Manembo-nembo, ditambahi dengan wilayah yang ada di sebelah utara sungai Ranowangko, meliputi gugusan gunung-gunung Lokon, Kasehe, Tatawiren hingga di tepi pantai sebelah barat. Lokasi mana dikenal sekarang sebagai luasan Kecamatan Tombariri, bersipat di arah pantai dekat Mandolang di timur Mokupa.

Masa Kakaskasen dipimpin Tikonuwu dan Tuera, banyak penduduk Kakaskasen kembali bermukim di Mandolang. Mandolang maju pesat. Penduduknya selain hidup bertani juga menangkap ikan. Rata-rata kaum prianya gagah berani, karena sewaktu-waktu mereka berhadapan dengan para bajak laut asal Mindanau.

Riedel menyebut adanya perang Mandolang di masa itu. Salah seorang pemuda Mandolang bernama Tamuntuan telah pergi ke pulau Manado Tua dan berhasil memperistri gadis cantik bernama Tinontongpatola anak Pongeba yang kemudian dibawanya pulang ke Mandolang. Ternyata, kepala orang Babontehu, pemukim pulau Manado Tua ketika itu, tidak menyukai warganya kawin dengan orang Tombulu.

Sang kepala menyuruh pengikutnya merampas kembali Tinontongpatola. Tapi, karena gagah perkasanya laki-laki Mandolang, orang Babontehu telah dikalahkan, dan perahu-perahu mereka dibinasakan.

VERSI PINGKAN
Sebuah peristiwa yang dihikayatkan penduduk Tateli, dan Tombulu umumnya adalah perang Minahasa dengan Bolaang yang bersumber dari kisah Pingkan. Berbeda versi bahwa kejadiannya terjadi di Maadon atau Maarom Tonsea yang ditulis Riedel atau juga Sydney Hickson, diyakini mereka, justru berlangsung di Mandolang.

Pingkan gadis rupawan dari Mandolang telah membuat raja Mongondo mabuk kepayang hanya dari mendengar kecantikannya saja. Meski Pingkan telah bersuamikan Matindas, sang raja tetap memaksa Pingkan untuk menjadi istrinya. Dengan akal yang hebat dari Pingkan, sang raja terbunuh, dan pasukannya di pukul mundur.

DITINGGALKAN
Perkelahian dengan Bantik yang menurut Riedel telah datang di daerah seputaran Malalayang sekarang setelah pindah dari Gunung Bantik dekat Senduk, sebelum akhirnya ke Singkil, telah berlarut-larut kemudian hingga di awal abad ke-20, meski berkali-kali didamaikan oleh pemerintah kolonial ketika itu.

Perseteruan paling hebat terjadi di tahun 1760-an. Soal Malalayang, telah menyebabkan Tateli hancur di tahun 1764, sementara ibukota Balak Kakaskasen Lotta dibakar. Akhirnya, Residen Manado campur tangan. Kepala Balak Bantik Mandagi ditahan Belanda dan dibawa dengan kapal Enkhuizen ke Batavia via Ternate. Tapi, di selat Buton, Mandagi telah terjun dan hilang ditelan gelombang. Ketika itu, terkenal pahlawan Tateli yakni Tonaas Wolla.

Belum lama, Tateli kembali diserbu. Dua pertiga penduduknya menjadi korban. Kali ini, Tateli benar-benar ditinggalkan. Setelah campur tangan balak-balak lain Minahasa, Kompeni Belanda tahun 1789 menahan Kepala Bantik bernama Samola di Benteng Amsterdam.

Tateli baru dihuni kembali setelah tercapai kedamaian antara Kakaskasen-Bantik. Di tahun 1820 datang para pembuat garam dari Kinilow, sekarang kelurahan di Kecamatan Tomohon Utara, yang masa itu masuk Balak Kakaskasen. Lama kelamaan mereka tertarik bermukim dengan membangun rumah-rumah di sebelah barat Tateli lama (Wanua Ure).

Tokoh-tokoh yang dianggap perintis pendirian kembali Tateli di bekas Mandolang adalah Tonaas Sirang, Parengkuan, Dais dan Pangemanan. Awalnya mereka membuat upacara adat mendengar bunyi burung untuk menentukan lokasi pemukiman. Setelah ada petunjuk baik, mereka memasuki tempat itu. Karena menemukan tiga batu yang merupakan tungku, yang disebut dalam bahasa Tombulu tateli, maka dinamailah negeri baru dalam Balak Kakaskasen ketika itu, Tateli. Graafland memberi versi lain, asal nama negerinya dari sungai yang mengalir di tempat itu.

Perkembangan Tateli terbilang pesat, sehingga di tahun 1835 telah dibuka sebuah sekolah gubernemen. Tateli baru dipimpin seorang hukum tua yang dipilih sendiri oleh penduduk di tahun 1850. 

Sekarang, Tateli telah menjadi sebuah ‘kota’, sebagai ibukota dari Kecamatan Mandolang yang dimekar dari Pineleng tahun 2012. Nama Mandolang, untuk mengenang kebesaran masa lalunya. Tateli telah memekar menjadi lima. Tateli, Tateli Satu, Tateli Dua, Tateli Tiga dan Tateli Weru yang dikenal pula dengan nama Buloh, dengan penduduk telah aneka ragam.

Situs tinggalan Tateli masa lalu masih ada. Tanjung Mandolang, sekitar 860 meter dari pusat Tateli di Buloh sekarang. Kemudian Selokan Ranorempeng yang menjadi parit pertahanan dalam perkelahian tempo dulu. Juga bekas negeri tua yang disebut Wanua Ure di timur Tateli. Lalu bekas Loji dan waruga di lokasi Ranoriri.   ***


*).Foto koleksi Bode Talumewo.

BAHAN TULISAN
Kojongian, A., Riwayatmu Tomohon, 1986.
Tomohon Kotaku, 2006.
Riedel, J.F.G., Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu, Batavia 1862. Delpher Boeken.
Taulu, H.M., Sejarah Minahasa, 1955.
Watuseke, F.S., Sejarah Minahasa, 1962.
Wawancara di tahun 1980-1990-an.

Senin, 23 Januari 2017

Lotta, Dulu Ibukota Kakaskasen










Oleh: Adrianus Kojongian









Ruas jalan Tondano-Tomohon-Manado awal melalui Kali dan Lotta. *).









Banyak orang mengenal Lotta sekarang sebagai pusat Kateketik Keuskupan Manado atau lokasi makam pahlawan nasional Tuanku Imam Bondjol. Lain dari itu tak ada pembeda, persis tipikal desa-desa Minahasa umumnya. Apalagi, desa kecil di Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa ini baru memperoleh status desanya 2012 lalu.

Sebenarnya, Lotta masa lalu sangat istimewa. Pernah menjadi salah satu negeri besar Minahasa, sebagai pusat pemerintahan dan ibukota dari Balak lalu Distrik Kakaskasen, dengan ‘dinasti’ Parengkuan sebagai penguasa turun-temurun. Tinggalan negeri tua ini sekarang hanyalah waruga-waruga dari para mantan pemimpinnya.

Distrik Kakaskasen tumbuh dari pemukiman Maiesu di Kinilow tua Kecamatan Tomohon Utara sekarang, dan telah berganti-ganti ibukota. Awalnya pindah di Kakaskasen dari Maeisu, lalu ke Kali, sekarang desa di Kecamatan Pineleng yang di tahun 1619 memunculkan kepala disebut bernama Bungkar atau Wongkar atau Wangkar yang dicatat Pater Blas Palomino sebagai ‘raja’, masih alifuru.

Kesewenangan Spanyol berakibat perang pengusiran bangsa tersebut dari Minahasa tanggal 10 Agustus 1644, yang menyebabkan Pater Lorenzo Garralda terbunuh di Kali (namanya sekarang diabadikan Katolik di Lotta). Pahlawan-pahlawan Kakaskasen ketika itu adalah Wongkar Sayow (yang waruganya dihadis ada di Lotta), kemudian Worung, Rumondor dan Tombokan. Mengkhawatirkan serangan balasan Spanyol, penduduk telah kembali ke Kakaskasen di Tomohon sekarang.

Kepala Kakaskasen terkenal kemudian adalah Lontaan yang dihikayatkan bersama Supit, Paat dan Lontoh telah pergi ke Ternate mengundang Belanda. Di Kakaskasen induk ini, para kepala silih berganti di tangan Kalalo, Sulu dan di tahun 1730 Parengkuan.

Masa Parengkuan inilah ibukota Balak Kakaskasen dipindahkannya ke Lotta yang dianggap strategis, dekat dengan Manado.Tahun 1760 Kepala Balak Kakaskasen dipegang Mainalo Parengkuan yang disebut Sangian, kemudian tahun 1790 Pangemanan dan awal tahun 1800-an Masairi ‘Sahiri’ Parengkuan yang juga disebut Mainalo yang sangat terkenal.

DUA KAMPUNG
Lotta dimasa Majoor Mainalo maju pesat, penduduk dipindahkannya dari negeri tua ke lokasi lebih baik lagi. Pahlawan-pahlawan terkenalnya ketika itu antara lain Runtulalo, Lawit Lambot dan Lawit Potot. Permusuhan berlarut dengan tetangganya di kawasan Manado sekarang, Bantik, berakhir ketika ia memperistri putri Bantik bernama Wawu Konda.

Majoor Mainalo telah menjadi Kristen dan ditemui Rasul Maluku Josef Kam April 1817 dan ditulis dengan nama Nallo atau Mali. Ia pun membantu para pejuang Minahasa pada perang melawan Belanda di Tondano 1808-1809. Ia telah memerintah Balak lalu Distrik Kakaskasen di Lotta hingga diganti berturut oleh beberapa anaknya, dimulai Alfrets Parengkuan.

Sejak tahun 1830-an Lotta mulai dijadikan tempat buangan pejuang-pejuang anti-Belanda, diawali para pejuang asal Lampung, kemudian dari Aceh dan paling terkenal Tuanku Imam Bondjol di tahun 1841 dari Sumatera Barat. Salah seorang putri Frederik Parengkuan yang juga menjadi Kepala Distrik Kakaskasen bernama Wilhelmina telah diperistri penjaga Tuanku Imam Bondjol, yakni Kopral Apolos Minggu, masuk Islam bernama Yunansi, dan kelak menurunkan Islam di Pineleng.

Lotta sendiri akibat peristiwa gempabumi Februari 1845, dipindah bergeser tidak jauh (baca: 1845, Gempa Menghancurkan di Minahasa). Graafland menggambarkan di tahun 1850-an Lotta sebagai satu negeri dengan kedududukan baik dan agak bersih. Terdapat satu rumah negeri yang baik, rumah kalakeran atau pasanggrahan. Juga gereja kecil yang bagus, dengan sebagian besar penduduk telah beralih menganut agama Kristen, sementara sekolahnya mempunyai banyak murid.

Graafland masih mencatat di tahun 1874 ibukota Distrik Kakaskasen Lotta ini terbagi dua kampung, yakni Lotta-timu berpenduduk 314 jiwa dan Lotta-amian 307 jiwa. Seluruh penduduk Lotta adalah 621 jiwa. Penduduknya bertani, menghasilkan rempah dan sayur yang dijual di Manado. Negeri lain distrik ini adalah Kakaskasen, Tateli, Koha, Koka, Warembungan, Tinoor, Kinilow dan Kayawu. Bekas negeri induk di selatan, yakni Kakaskasen dijadikan distrik kedua dipimpin seorang bertitel Hukum Kedua.

Dinasti Parengkuan terakhir yang memerintah Distrik Kakaskasen adalah Paul Frederik Parengkuan. Kemudian berturut-turut Nicolaas Willem Wakkary 22 Desember 1886, Willem Walangitang 18 Januari 1896, Willem Albert Ticoalu 4 Agustus 1901, Frederik Andries 11 November 1903, dan terakhir Robert Johan Pelenkahu 26 April 1905 (Baca pula: Para Kepala Tomohon dan Tentang Kepala Minahasa).

KISAH PALANTUNG
Penulis Pineleng, E.R.T.Palantung mempunyai kisah sendiri soal pendirian Lotta. Menurutnya, Lotta didirikan oleh Tonaas Lumanauw, putri tiri Kepala Kakaskasen bernama Palantung. Ibu dan ayah Lumanau asal Remboken. Ayahnya telah terbunuh dalam konflik Remboken-Tondano. Ibunya kemudian diperistri Palantung. Karena Lumanau disayangi, tongkat simbol kepala diserahkan Palantung kepadanya.

Lumanau memperistri Wawu Tambengi atau Bulai dari Kinilow yang orang tuanya sebenarnya menjadi pemukim pertama di Lotta. Setelah meninggal, Lumanau digantikan anaknya Siwi, lalu Siwi diganti anaknya Mainalo Sahiri Parengkuan setelah Mainalo menjatuhkan kakaknya bernama Palantung yang lemah.

KOLERA
Peran Lotta sebagai pusat pemerintahan habis, ketika Distrik Kakaskasen di tanggal 8 Oktober 1909 dihapus. Wilayahnya di bagian selatan, yakni bekas Onderdistrik Kakaskasen dengan negeri-negerinya digabung dengan Distrik Tomohon, dan sisanya dengan Distrik Manado. 

Lotta sendiri ditinggalkan penduduknya di tahun 1911 ketika berjangkit wabah penyakit kolera yang menelan korban jiwa cukup banyak. Penduduknya pindah dan mendirikan Pineleng yang kemudian menjadi ibukota kecamatan. Ruas jalan dari Tondano-Tomohon-Manado yang sebelumnya melewati Lotta dari Kali berpindah pula ke Pineleng. Dari Pinelenglah, masa Jepang, terutama di masa Permesta, penduduk mulai kembali menghuninya, sehingga sekarang ini berbentuk desa kembali.  ***


*).Lukisan S.A.Buddingh, koleksi Sammlungen der Staatsbibliothek zu Berlin.

BAHAN OLAHAN:
Graafland, N. Inilah Kitab Deri Hal Tanah Minahasa.
Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini, terjemahan Yoost Kullit, 1987
Kojongian, A., Riwayatmu Tomohon, 1986.
Tomohon Kotaku, 2006.
Palantung, E.R.T. Sejarah Pineleng, ketikan,
Taulu, H.M., Sejarah Minahasa, 1955.
Watuseke, F.S., Sejarah Minahasa, 1962.
              Artikel publikasi Watuseke di media Manado. 

Kamis, 19 Januari 2017

Elias Kandou, Guru Tua Minahasa







Oleh: Adrianus Kojongian







Albertina Kandou, putri Elias dengan muridnya. *)




Guru Minahasa tempo dulu selalu hebat, terkenal perannya karena melahirkan banyak para cerdik-cendekia dan tokoh-tokoh yang kemudian mengharumkan Minahasa. Tidak itu saja, sampai akhir masa penjajahan Belanda, para guru Minahasa seakan merambah di mana-mana penjuru Indonesia, membaktikan ilmu pengetahuan dan hidupnya untuk memajukan pendidikan Indonesia.

Elias Kandou asal Tonsea Lama, desa di Tondano Utara, dulu masuk Airmadidi dan di masanya masih sebagai negeri Distrik Tonsea; adalah salah seorang pionir guru asal Minahasa yang berkiprah di luar Tanah Minahasa.

Elias Kandou lahir tahun 1853 di Tonsea Lama. Ia mengikuti pendidikan guru di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tondano yang dipimpin oleh Leendert Gerardus van der Hoek serta wakilnya Lambertus Mangindaan. Tahun 1873, ia berhasil menamatkan sekolahnya. Begitu lulus dari sekolah pendidikan guru pribumi tersebut, ia langsung diangkat sebagai guru di Openbare Inlandsche School Airmadidi.

BELAJAR DI BELANDA
Hampir lima tahun mengajar di Airmadidi, awal tahun 1878 ia berhasil terpilih untuk mengikuti pendidikan guru lebih tinggi di Negeri Belanda. Elias Kandou terpilih mewakili Minahasa bersama teman sekelasnya di Kweekschool Tondano Jozias Ratulangi. Saat itu pun, terhitung bulan Mei ia memperoleh promosi sebagai guru Inlandsch klas satu. Promosi diterimanya ketika ia bersama Jozias Ratulangi tengah berada di atas kapal uap Prins van Oranje yang berlayar dari Batavia ke Amsterdam (baca: Hebatnya Keluarga Ratulangi).

Bersama wakil dari Jawa asal Muntilan, Raden Kamil, Elias Kandou dan Jozias Ratulangi mengharumkan Indonesia ketika berhasil lulus dari Rijkskweekschool di Haarlem Belanda 21 September 1880, dengan meraih acte-examens voor Hulponderwijzers. Sebab, dari 16 peserta ujian, enam orang gagal, justru wakil dari tanah jajahan, lulus dengan cemerlang.

Tiba kembali 1881, Elias Kandou ditempatkan mengajar di sekolah dimana ia belajar pertama, Kweekschool Tondano, sedangkan Jozias Ratulangi di School voor
Zonen van Inlandsche Hoofden, juga di Tondano. Elias Kandou dipromosi jadi Onderwijzer (guru) klas tiga. Bulan Maret 1882 ia menggantikan posisi mengajar Lambertus Mangindaan yang berhenti di Kweeskchool (baca pula: Lambertus Mangindaan, Guru Pertama Lulusan Belanda).

Terhitung tanggal 1 Mei 1885 Elias Kandou dimutasi. Ia diangkat sebagai guru di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzer ketika masih milik Nederlandsch Zending-Genootschap di Ambon Maluku. Di sekolah ini ia bertemu Kawanua lain, yakni Paulus Najoan yang menjadi guru handteekenen dan terkenal sebagai pelukis yang mengajar di sekolah itu sejak Oktober 1885 (baca: Pelukis Paulus Najoan dan Frederik Kasenda).

Guru Elias Kandou sejak 21 Maret 1886 menjadi Inlandsch Hulponderwijzer rang kesatu, termasuk sebagai orang ketiga di sekolah tergolong sangat bergengsi ketika itu. Kedudukannya dibawah Hoofdonderwijzer F.E.Luitjes dan guru H.W.Bosman lalu pengganti-penggantinya G.Valk, D.Vooren dan kemudian A.Ch.Cramer.

Awal bulan Oktober 1900, Elias Kandou diangkat sebagai Adjunct Inspecteur Inlandsch Onderwijs wilayah lima (vijfde afdeeling) yang berkedudukan di Tondano, sebagai wakil dari Inspektur D.Vooren yang berkedudukan di Ambon. Tugasnya adalah menginspeksi sekolah-sekolah pribumi terutama yang ada di Keresidenan Manado. Jabatan yang biasanya hanya dipegang oleh guru senior bangsa Belanda. Ia menjadi perintis orang Indonesia dalam kedudukan demikian. Teman sekolahnya di Belanda Raden Kamil baru menyusul diangkat dalam jabatan adjunct inspecteur wilayah dua di Semarang Februari 1901.

Tidak lama, karena terhitung 8 Juli 1901 Elias Kandou pindah dari Kweekschool Ambon menjadi guru di Openbare 5e Lagere School voor Europeanen di Batavia yang bergengsi. Kemudian sejak Januari 1902 ia menjadi Hulponderwijzer di bagian persiapan dari School tot Opleiding voor Inlandsche Geneeskundigen di Weltevreden.

Bulan Desember 1902 guru Elias Kandou kembali mengajar di Kweekschool Ambon. Ia kemudian meninggal dunia di Surabaya tanggal 11 Oktober 1905.

KELUARGA
Elias Kandou kawin tahun 1885 dengan Clara Amelia Supit (meninggal di Amsterdam April 1919). Anak mereka rata-rata menjadi terkenal. Putrinya Albertina Johanna Helena Kandou lulus dari Gymnasium Willem III Batavia menjadi wanita pertama di Indonesia asal Minahasa yang tanggal 10 Juni 1916 berhasil lulus dan meraih acte-examens Lager Onderwijzers (LO) di Amsterdam Belanda. Ia pernah mengajar di Sekolah Klas 2 Manado, Europeesche Lagere School Bandung dan Hollandsch Chineesche School Kediri.



Foto lain Albertina Kandou. *)

Putranya bernama Apelles Tobias Thomas Kandou adalah orang Minahasa pertama yang masuk dan lulus dari Sekolah Pelayaran di Batavia setelah menamatkan Hoogere Burgerschool (HBS) Batavia 1898. Ia sempat jadi kelasi di kapal samudera, kemudian peroleh ijazah Grote Vaart Diploma untuk pelayaran samudera sebagai orang Indonesia pertama yang dapat ijazah demikian. Bekerja sampai pensiun sebagai kapten kapal-kapal milik KPM selang 1920-1930.

Salah seorang cucu Elias Kandou, yakni Thomas Wijnand Elias Kandou (1930-1991), putra Apelles, menjadi perwira menengah angkatan laut (Koninklijk Marine) kerajaan Belanda, terakhir berpangkat Kapitein ter zee vlieger, pernah menjadi Komandan Skuadron 320 di Valkenburg Belanda yang terkenal.  ***
                                                                                     



*).Foto koleksi NMVW-Tropen Museum.

BAHAN OLAHAN
Delpher Kranten
Ensiklopedia Tou Manado
Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie.