Senin, 21 April 2014

Ridder dan Medali Keberanian Orang Manado (2)

                                        

 

                                                Oleh: Adrianus Kojongian

 

 

 

 

Lukisan pasukan Marechaussee. *)




Keberanian orang Manado, terutama Minahasa, mengharum, dalam kesatuan Amboineesche. Tentara rekrutan berasal Indonesia Timur, baik Ambon, Timor dan Manado sengaja digabung dalam Amboineesche, sehingga sangat menonjolkan kiprah korps tersebut. Selang tahun 1870-an hingga tahun 1924, muncul banyak tokoh militer pemberani yang kebanyakan berpangkat bintara asal Manado. Mereka hampir selalu menjadi maskot tentara pribumi Hindia-Belanda dalam Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger alias KNIL.

Baru tahun 1924, tentara asal Manado bisa membanggakan diri dalam kesatuan sendiri, yakni Menadoneesche, yang terpisah dari Amboineesch. Kesatuan Menadoneesche baru berakhir ketika kekuasaan Belanda berakhir.

Keberanian orang Manado dibuktikan dengan puluhan orang Manado meraih tanda jasa keberanian tertinggi Ridder Militaire Willems Orde, dan lebih seratus lainnya menerima medali kehormatan (eere-medaille) Orde van Oranje-Nassau, terutama medali zilver (perak) dan brons (kuningan), tapi jarang memperoleh medali emas (gouden). Tanda jasanya dikeluarkan dengan beslit kerajaan . Kemudian, dengan beslit Gubernur Jenderal, medali -- terutama juga--, zilver dan bronzen voor moed en trouw, lalu voor moed, beleid en trouw.  Ada pula penghargaan eervol vermeld (kroontjes). Semua penghargaan tanda jasa, baik dari koninklijk mau pun dari Gubernur Jenderal selalu disertai pedang kehormatan. Di masa akhir kekuasaan Belanda, sejumlah orang Manado memperoleh pula Bronzen Kruis, Bronzen Leeuw dan Kruis van Verdienste.

Para penerima berbagai penghargaan Belanda rata-rata bertugas sebagai tentara dalam berbagai operasi militer di Lombok, Sulawesi Selatan, Kalimantan, Jambi, Flores dan paling utama di Aceh. Kebanyakan dari kesatuan infantri, lalu penerima mulai awal tahun 1900-an dari korps elit KNIL Marechaussee atau Marsose.

Tahun 1877 setidaknya ada sembilan orang Manado meraih penghargaan untuk tindak keberanian dalam operasi militer di Aceh. Dari operasi tanggal 28 Desember 1875 hingga 9 Maret 1876, melalui beslit Gubernur Jenderal tanggal 10 Mei 1877 nomor 17, sebanyak lima orang fuselier Amboineesche asal Manado dalam Batalion Infantri ke-3 memperoleh penghargaan medali tanda jasa Bronzen. Mereka adalah J.Dumanauw, J.Wagiu, S.A.Nelwan, Rarumangkay (ditulis Rarumangky), dan J.Rindengan (ditulis Rindingan). Fuselier lain A.Posumah (ditulis Pasuma), menerima eervol vermeld.

Masih di tahun 1877, dengan beslit kerajaan tanggal 13 September 1877, tiga orang Manado menerima Ridder Klas 4 Militaire Willems Orde, berdampingan dengan perwira tinggi sampai bintara berkebangsaan Belanda. Mereka sekaligus memperoleh kenaikan pangkat istimewa. Ketiganya adalah: A.O.Malonda yang dipromosi dari Fuselier jadi Kopral. Lalu  A.Dengah dan D.Rotty menjadi Kopral.


Tahun 1895, untuk operasi militer di Lombok selama paruh kedua tahun 1894, untuk tindakan berani dan luar biasa, Fuselier Amboineesche T.Tambuwun (ditulis Tamboewoeng) menerima Ridder Klas 4 Militaire Willems Orde. Lalu dengan beslit Gubernur Jenderal tanggal 10 April 1895 voor keberanian dan loyalitas, dua Amboineesche, yakni Fuselier J.Pangkerego dan handlanger F.C.Kambey (ditulis Kamby) menerima Bronzen Medaille. Kopral Amboineesche S.Mandagi dan Fuselier W.Koropit memperoleh eervol vermeld.

Tahun 1897, dengan beslit Koninklijk nomor 59 tanggal 24 Mei,  lima orang Manado dalam Amboineesche, untuk jasa dalam operasi militer di Aceh bulan Maret-April 1896, memperoleh Ridder Militaire Willems Orde Klas 4. Masing-masing: Sersan H.Warankiran, Sersan J.Moningka, Fuselier J.Singal. Lalu tiga orang lainnya J.Walewangko, B.Kalalo dan A.W.Lontoh, sekalian memperoleh promosi menjadi kopral.


Kemudian banyak orang Manado lain, berturut menerima Ridder Militaire Willems Orde Klas 4. Untuk operasi militer di Aceh semester kedua 1900, Amboineesche Fuselier B.Kapoh menerima dengan beslit koninklijk 3 Juni 1901. Lalu Marechausse Jesajas Pongoh menerima tahun 1903. Dan, tahun 1905 dari operasi di Gajo en Alaslanden (Tanah Gayo dan Alas) yang berlangsung bulan Februari -Juli 1904, dengan beslit 10 April 1905 lima orang Amboineesche Marechausse memperoleh Ridder Militaire Willems Orde Klas 4. Mereka adalah: R.Sinjal, L.Sumampow, A.Makal, S.Tanod dan A.Sondah.

Fuselier M.Rambing memperoleh Militaire Willems Orde Klas 4 untuk operasi militer di Aceh tahun 1906 dengan beslit 10 Agustus, dan Marechausse J.Mandagi memperolehnya tahun 1906 untuk operasi militer paruh pertama tahun 1905 di Doesoen en Dajaklanden Zuider-en Oosterafdeeling van Borneo (wilayah yang sekarang masuk Kalimantan Tengah). Sersan Amboineesche Marechaussee K.Wanej asal Rumoong menerima dengan beslit 5 Desember 1906 untuk ekspedisi di Tanah Gayo dan Alas.

Dalam operasi militer di Sulawesi (Selatan), selama periode 12 Juli 1906 sampai 1 Agustus 1906, Sersan Amboineesche Jesajas Pongoh (untuk kali kedua) dengan beslit kerajaan tanggal 28 Maret 1907, menerima bintang Ridders Militaire Willem Orde Klas 3. Penghargaan buat Jesajas Pongoh ini merupakan sebuah peristiwa yang sangat luar biasa dan langka, apalagi untuk tentara pribumi (Inheemsche militairen).


Tahun 1907 banyak orang Manado menggondol penghargaan. Bersama Jesajas Pongoh, untuk penghargaan operasi militer Sulawesi itu, tiga orang Manado lain menerima Ridder Militaire Willems Orde Klas 4. 


Mereka adalah Fuselier N.Mocodompis untuk pertempuran di  benteng batu Kautoe Masenrempoeloe, Sersan G.L.Rumamby untuk tiga peristiwa dianggap luar biasa: tanggal 17 Oktober 1905 di Gunung Bambapoeang Masenrempoeloe, di Kampung Sawieto 5 Januari, dan peristiwa bulan Februari 1906 di Kali Riwa dekat Enrekang. Penerima lain Militaire Willems Orde Klas 4 tahun 1907 adalah Marechausse J.Supit untuk pertempuran di Bonto Batoe tanggal 16 Mei 1906.

Kemudian dalam operasi militer di Jambi pada paruh kedua 1906, dengan beslit tanggal 7 Juni 1907, Sersan Infantri Amboineesche J.Warouw menerima Militaire Willems Orde Klas 4.

 

Masih di tahun 1907, dengan beslit Koninklijk tanggal 14 November untuk operasi militer di Sulawesi dan Timor periode 1 Agustus-31 Desember 1906, dua orang Minahasa turut meraih Ridder Militaire Willems Orde Klas 4, sekaligus promosi naik pangkat. R.Kaeng jadi Sersan dari Kopral, dan K.Langi promosi dari Fuselier ke Kopral. 

Tahun 1908, di bulan Mei Marechausse N.Walangitan, memperoleh Ridder Militaire Willems Orde Klas 4 untuk operasi militer di Aceh selama semester pertama tahun 1907, dan Amboineesche Fuselier P.Kaeng untuk operasi militer di Jambi semester kedua tahun 1907. Amboineesche Fuselier P.Alungan kelahiran Mangaran menerima dengan beslit 25 September 1908 untuk operasi militer di Aceh periode 21 November-26 Desember 1907.

Kemudian dengan beslit kerajaan 5 Desember 1908 Ridder Klas 4 Militaire Willems Orde diperoleh Fuselier A.Paslah dan A.Wowiling untuk operasi militer semester kedua tahun 1907. Berikut, dengan beslit tanggal 28 Desember 1908 untuk operasi militer di Flores 9 Agustus 1907-akhir Februari 1908, enam orang Manado dari pasukan Amboineesche memperoleh Militaire Willems Orde Klas 4. Keenamnya adalah: Sersan Infantri H.Pantow, Sersan (dipromosi dari kopral) S.Woy, I.Macalew (ditulis Macalow), L.I.Lumenta, Fuselier Th.Coagauw dan J.Rumampuk.

Penerima Militaire Willems Orde Klas 4 di tahun 1909 dengan beslit 1 September untuk jasa dalam operasi militer di Flores semester kedua tahun 1908 adalah Kopral Infantri J.Katuuk. Sementara Amboineesche Marechaussee L.H.Enoch yang tahun 1911 baru menerima eervol vermeld, pada awal 1912 untuk keberanian di Aceh kembali dianugerahi dengan Ridderkruis Militaire Willems Orde Klas 4.

Lalu, dengan beslit 12 November 1926 Kopral tituler (lalu Sersan) Menadoneesch D.Kaligis memperoleh Ridder Militaire Willems Orde Klas 4. Tahun 1927 dengan beslit kerajaan tanggal 2 November diperoleh Sersan Klas 1 Menadoneesch P.Pontoh  Dan, terakhir tahun 1947, Sersan Infantri KNIL Irot meraih Ridder Militaire Willems Orde Klas 4 di bulan Februari 1947.

Selain mereka yang disebut, ada sejumlah militer asal Manado yang terdaftar dalam Register Kanselarij der Nederlandsche Orden sebagai penerima Ridder Militaire Willems Orde Klas 4, tapi terluka lalu meninggal dan atau tewas. Dalam operasi militer di Gajo en Alaslanden  Februari-Juli 1904, Sersan Marechaussee Amboineesche P.Karundeng, dicatat menerima dengan beslit 10 April 1905. Kemudian pada operasi militer di Sulawesi Selatan. Amboineesche Fuselier (dipromosi jadi Kopral) A.Rumawung penerima dengan beslit kerajaan tanggal 28 Maret 1907, tewas dalam pertempuran tanggal 25 Agustus 1906 di Paberassang Sidenreng.


Lalu Amboineesche marechaussee J.Pangau, terbunuh tanggal 16 Mei 1906 di Bonto Batu. Juga didaftar dalam register sebagai penerima Militaire Willems Orde Klas 4 adalah Amboineesche Fuselier S.E.Wowor, yang terbunuh tanggal 28 Maret 1906 di Masenrempoeloe, serta Amboineesche hoornblazer J.Pondaag yang meninggal 6 September 1905. 

Para penerima Militaire Willems Orde dilukiskan luar biasa gagah-berani. Fuselier M.Rambing, yang menerima di tahun 1906, dicatat saat menjadi komandan patroli di Moege Rajeu (Boven Meulaboh) pada tanggal 17 Maret 1905 diserang lawan bersenjatakan klewang yang sangat kuat. Meskipun sudah terluka parah di awal pertempuran, dengan kerjasama pasukan, musuh dapat dipukul mundur.

Kemudian, Fuselier S.E.Wowor. Hanya ditemani Fuselier M.Kaihena, meski tidak diikuti oleh orang-orang lain dalam divisinya, dengan pantang-mundur terus maju di benteng batu Kautoe Masenrempoeloe yang dijaga ketat. Maka, di tanggal 28 Maret 1906 bersama Kaihena, ia tewas mengorbankan diri.

Sersan Klas 2 Menadoneesche D.Kaligis yang menerima Ridder der Militaire Willems Orde Klas 4 tahun 1926 terkenal karena keberanian serta aba-aba ‘ayo madjoe’ yang menjadi penyemangat pasukannya, dari terpukul musuh, berbalik menjadi kemenangan dalam pertempuran bulan Juli 1926 di Missigit Kroeeng Loeas. Kelak pula, Kaligis menerima medali emas untuk 24 tahun masa dinasnya, dan pensiun di tahun 1937.

JESAJAS PONGOH
Ketika pensiunan Sersan Jesajas Pongoh meninggal di Rumah Sakit Militer di Surabaya pukul 04.00 pagi hari Kamis tanggal 11 Oktober 1934, ia menerima penghormatan luar biasa dan dimakamkan dengan upacara kebesaran militer. Koran-koran Hindia-Belanda, antara lain Soerabaiasch-Handelsblad, hari itu juga, sengaja menurunkan berita kehilangan veteran dan salah satu prajurit paling berani, menyebut penyandang Militaire Willems Orde Klas 3 itu sebagai  'pahlawan Aceh'.


Jesajas Pongoh.*)

Jesajas Pongoh lahir di Airmadidi tanggal 7 Mei 1878. Ia teken kontrak masuk tentara tanggal 10 Februari 1897, saat dimana ratusan pemuda setiap tahunnya meneken kontrak menjadi soldadu. Setelah mengikuti pelatihan, ia masuk Marechaussee, korps yang kelak, menurut sebuah media, akan melihatnya sebagai permata.

Tanggal 27 Februari 1906 ia dipromosi sebagai Kopral, 7 Agustus 1906 Sersan Klas 2 dan tanggal 26 November 1921 Sersan Klas 1. Terhitung tanggal 10 Januari 1932 ia pensiun.

Dari tahun 1898 hingga 1904 Jesajas Pongoh mengambil bagian dalam operasi militer di Aceh, dimana ia terlibat pada operasi di tanah Gayo dan Alas (Gajo en Alaslanden) 1904. Berikutnya, tahun 1904-1905 operasi militer di Sulawesi Selatan, dan selang 1905-1909 di Kleine Soenda Eilanden (Nusa Tenggara).

Dengan beslit kerajaan tanggal 30 September 1903 ia dianugerahi Ridder Klas 4 Militaire Willems Orde untuk operasi militer di Aceh selama semester kedua tahun 1902.

Keberanian Jesajas Pongoh terlihat dalam penyerbuan benteng terkenal Tjot Saunoko.  Dengan klewang digigitnya, ia melompat ke dalam benteng sehingga mengejutkan orang Aceh di dalamnya.

Tahun 1904, ia ikut dalam ekspedisi menyeberangi Tanah Gayo yang terkenal dalam sejarah militer Hindia-Belanda dibawah pimpinan Overste G.C.E.van Daalen. Tanah Gayo sebelumnya tidak pernah dimasuki orang Eropa. Bulan Maret tahun itu ia meninggalkan Lho’Seumawe Aceh, dan tiba 5 bulan kemudian di Sibolga (sekarang Sumatera Utara).

Disebutkan di tanggal 18 Maret 1904 Jesajas Pongoh dengan gagah-berani mengambil alih bukit Gemoejang di Gajo Loe Os, meski ditembaki dan terluka lengan kanannya.

Dengan beslit Gubernemen tanggal 18 April 1905 ia memperoleh eervol vermeld untuk tindakannya selama ekspedisi di tanah Gayo dan Alas bulan Februari sampai Juli 1904.

Selang tahun 1905-1907 ia mengambil bagian dalam operasi militer di Sulawesi Selatan. Dibawah komandan Overste H.N.A.Swart, kelak Gubernur militer Aceh dan kemudian Vice-President Dewan-Hindia, Jesajas Pongoh menyerbu benteng di Randjang. Karena operasi militer di Sulawesi ini, ia dipromosikan menjadi kopral dan tidak lama berselang sebagai sersan klas 2. Lalu dengan beslit kerajaan tanggal 28 Maret 1907 ia memperoleh penghargaan Militaire Willems Orde Klas 3 untuk partisipasinya dalam operasi periode 12 Juli 1905-1 Agustus 1906.

Tahun 1915 dan 1916 ia kembali mengambil bagian dalam operasi militer di Gubernemen Celebes en Onderhoorigheden.  Tanggal 28 April 1927 ia memperoleh Medali Emas (Gouden Medaille) untuk penghargaan 25 tahun berdinas militer.

Pada 4 Mei 1927 bersama 27 penyandang Ridder Militaire Willems Orde dari perang Aceh, ia pergi ke Belanda sebagai utusan tentara Hindia-Belanda menghadiri pemakaman Letnan Jenderal J.B.van Heuts, mantan Gubernur Jenderal. Di Huis ten Bosch Den Haag, ia berkesempatan bertemu Ratu (Wilhelmina), Putri (Juliana) dan Pangeran Hendrik. Ayah enam anak ini kemudian mengaku ketika dia mendapat kehormatan berjabat tangan lalu berbicara dengan Ratu Belanda, merupakan salah satu momen paling indah dalam hidupnya. ***

     *). Lukisan koleksi Het Geheugen van Nederland dan foto Jesajas Pongoh dari Wikipedia. 

 SUMBER TULISAN:
Koninklijk Bibliotheek-Delpher Kranten (De Locomotief 19 Mei 1877, 1 November 1877, 13 April 1895, 6 Juli 1895, 25 Juni 1901; Het Nieuws van den Dag 18 September 1877, 29 Agustus 1906, 10 April 1907, 18 Juni 1907, 4 Januari 1909; Java Bode  30 Oktober 1877, 11 Desember 1908, 10 Oktober 1934; Bataviaasch Nieuwsblad 1 September 1903, 7 Oktober 1903, 29 Agustus 1906, 11 April 1907, 21 November 1907, 15 Mei 1908; Algemeen Handelsblad 27 Mei 1897, 6 Juni 1901;  Het Vaderland 22 Mei 1937; Middelburgsche Courant 16 Maret 1906; Soerabaiasch-Handelsblad 22 April 1905, 11 April 1907, 25 November 1907, 11 Oktober 1934, 8 Desember 1937; De Tijd 14 April 1905, 8 Desember 1908, 30 Desember 1908; Sumatra Post 20 April 1927; De Indische Courant 16 November 1927; Nieuwe Rotterdamsche 11 April 1928).


Selasa, 15 April 2014

Ridder dan Medali Keberanian Orang Manado (1)

                      

 

                                             

                                              Oleh: Adrianus Kojongian

 

 



SUDAH sejak lama, orang Manado terkenal di dan ke mana-mana sebagai kaum pemberani, jago berkelahi, pantang mundur, dan paling utama kebal.

Banyak kisah, bahkan telah bermula lewat hikayat-hikayat leluhur Minahasa, leluhur Bolaang-Mongondow—juga Sangihe dan Gorontalo menggambar saktinya tokoh-tokoh yang tak terkalahkan, tidak mempan oleh pedang, bahkan timah panas.

Di masa Permesta, kesaktian tokoh-tokoh militernya, bahkan serdadu biasa pun tersiar dengan harum. Ketika itu, hampir saban negeri Minahasa memiliki tokoh idol yang melegenda, karena butir peluru tidak tembus, dan mental begitu saja. Konon, cuma ‘penyalahgunaan’ poso Opo, yang bakal menghapusnya. Kisah mantan ‘Kapten’ Permesta Pieter Tumurang dan Komandan Brigade 999 Permesta ‘Brigjen’ Jan Timbuleng selalu dicontohkan dalam cerita nostalgia kalangan mantan Permesta, betapa kebal pun, kalau melenceng, apalagi melanggar pantang, sanksinya ilmu raib, dan umpama dalam kancah pertempuran, akan tewas disabet pedang, atau tertembus peluru.

‘Mandi kabal’ sebelum berperang telah dilakoni sejak awal, ketika masa keemasan para pahlawan Minahasa. Meski Tumalun yang pendek mengalahkan raksasa Pareipei dengan siasat, namun sebelum pertempuran yang legendaris berabad-abad silam itu, ia telah dibekali kesaktian, dan yang penting mandi kabal.

Para ksatria Minahasa tempo dulu tidak sekedar dibekali jurus-jurus berkelahi, tapi juga dibuat dan sengaja mencari ilmu kekebalan. Lalu ketika datang kaum kolonialis, ketika orang Minahasa berperang mengusir Spanyol di tahun 1644, lalu juga berperang melawan Belanda di tahun 1808 di Tondano, mandi kabal pun massal dilakukan.

Kemudian, ketika orang Minahasa mulai tertarik menjadi soldadu Kompeni sejak awal --dan terutama-- di pertengahan abad ke 19, sudah lazim pula, calon soldadu sengaja dimandikabalkan di negerinya oleh para Opo lewat tangan-tangan Walian dan Tonaas. Walian dan Tonaas ada di hampir tiap negeri Minahasa, karena tiap negeri Minahasa --ini terutama terjadi di peralihan abad tersebut-- mempunyai pemuda yang berminat dan biasanya selalu diterima menjadi soldadu.

Maka, kemudian,  terkenal di era Hindia-Belanda, kisah-kisah para soldadu berasal Minahasa yang membantu Belanda menumpas para pelawan dari Maluku, Jawa, Lombok, Bone, Kalimantan, Sumatra Barat dan paling melegenda dari berbagai kancah pertempuran di Aceh.

Semua bermula pada Perang Patimura di Maluku.  Orang-orang Minahasa mulai tertarik menjadi soldadu. Sampai tahun 1924 pasukan berasal Minahasa sengaja digabungkan dalam kesatuan Ambon, terkenal dengan sebutan Amboineesche. Sejumlah Kawanua berhasil menjadi perwira pribumi di dekade awal dan kedua abad ke-19, meraih pangkat Letnan, karena keberaniannya.

Perang Diponegoro memunculkan banyak perwira tituler Minahasa yang masyur. Keberanian serta keperwiraaan Tololiu Dotulong, Komandan Hulptroepen Minahasa, dengan para letnannya, juga Komandan Hulptroepen Gorontalo, terutama dua letnannya Hadju dan Matalie, tersiar kemana-mana. Mereka dikisah turun-temurun sampai saat ini—yang banyak makin berbunga-- tidak mempan keris, pedang, tombak, dan timah panas. ‘’Senjata lawan seperti menusuk angin, tidak berbekas. Pelor cuma malentek,’’ demikian biasa dihikayatkan para penutur.

PENANGKAP DIPONEGORO
Kehebatan Mayor Tololiu dengan Letnan (lalu Kapten) (Benjamin Thomas) Sigar dari Langowan, Letnan Hendrik Jacob Supit dari Tondano, Letnan Sondag Palar dari Sonder dan Letnan Mandagi dari Sarongsong, melegenda di kalangan keturunannya. Bahkan, mereka disebut sebagai penangkap langsung Pangeran Diponegoro. 

Penangkapan Diponegoro, lukisan Raden Saleh. *)

Kisah penangkapan Diponegoro malah telah berbumbu ada uji sakti dulu, seakan masih dalam suasana pertempuran. Skenario sejarahnya mengungkap Diponegoro ditangkap dalam perundingan setelah pengiringnya dilucuti. Memang, kemungkinan besar pasukan yang melakukan pelucutan lalu penangkapan adalah kesatuan berasal Hulptroepen Minahasa. Berita-berita mengungkapkan Diponegoro di tanggal 27 Maret 1830 hanya bersedia menyerahkan diri kepada pasukan Tulungan Minahasa, dan ia berulangkali mengutarakan kekagumannya terhadap keberanian Mayor Tololiu.

Mencari bukti sejarah peran pasukan Hulptroepen Minahasa dalam Perang Jawa 1825-1830 itu cukup sulit. Namun, tergambarkan sekali ketika perang berakhir dan Raja Belanda Willem membagi-bagikan penghargaan dan tanda jasa keberanian ridder serta medali kehormatan untuk orang-orang yang dianggap sangat berjasa di tahun 1831. Ternyata, tidak ada satu pun orang dalam pasukan Hulptroepen Minahasa yang memperolehnya.

Tanda jasa keberanian Belanda tertinggi dengan beslit kerajaan ketika itu, tentu saja Militaire Willems Orde (MWO) yang berjenjang dari Grootkruis, Ridder klas 2 atau Komandeur, Ridder klas 3 dan Ridder klas 4. Kemudian ada medali-medali untuk keberanian dan loyalitas, yakni Gouden Medaille (medali emas), serta Zilveren Medaille (medali perak). Saat itu pun, spesial diserahkan Komandeur dan sejumlah rang Ridder Orde van den Nederlandschen Leeuw.


Di tahun 1831 itu, hanya ada satu orang Minahasa yang menerima ridder, yakni  Abraham Donatius Wakkary, mendapatkan Ridder Militaire Willems Orde Klas 4. Dalam daftar penerima, namanya ditulis Wakkarie dengan pangkat opp.wachtmeester (Sersan Kepala), asal kesatuan Kavaleri (Hussaren). Dari 25 orang penerima medali emas dan perak tidak ada nama Tololiu Dotulong atau pun para letnannya. Dari sekian banyak pasukan Hulptroepen yang ikut membantu Belanda menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro, dari peringkat terbawah tanda jasa, yakni medali emas dan perak, yang menerima hanya komandan dan perwira Troepen Yogyakarta, Legiun Mangkunegara, Hulptroepen Sultan Madura,  Hulptroepen Sultan Sumenap, dan beberapa perwira serta bintara infantri, Jayang Sekar dan Amboineesche.

Terdapat nama Mayor Koelabath, Komandan Hulptroepen Ternate, serta Komandan Hulptroepen Tidore Mayor Saffi-oed-din.  Koelabath atau Koelbat memimpin 550 orang Hulptroepen Ternate, dan Saffi-oed-din 300 orang. Tentu saja, jumlahnya kecil dan sedikit berbanding pasukan Tulungan Minahasa (disebut Menadoneesch) pimpinan Mayor Tololiu Dotulong yang berjumlah 1.600 orang.


Dibalik itu, tentu terdapat penilaian Letjen H.M.de Kock Komandan tertinggi tentara Hindia-Belanda serta para perwira tingginya, ketika itu, bahwa peran komandan dan perwira berasal Hulptroepen Minahasa meski berani, tidak luar biasa untuk menerima tanda jasa kehormatan Ridder mau pun medali. Mayor Tololiu sekedar diberi pangkat tituler Groot Majoor, yang diterima juga oleh Abraham Donatius Wakkary. Peristiwa penangkapan Diponegoro hanya lumrah di mata para atasan, karena memang Diponegoro tidak bisa melawan lagi, terkepung kekuatan militer di Magelang.

Baru di tahun 1833, karena desakan mantan Residen Mr.Daniel Francois Willem Pietermaat, teman dekatnya ketika bertugas di Manado, serta Residen Manado Joan Pieter Cornelis Cambier, maka di bulan April, dari Residen Cambier ia menerima medali emas serta pedang kehormatan bersepuh emas (Gouden eere-sabel). Tololiu Dotulong kelak pula menerima uang pensiun sebesar sembilan ratus gulden tiap tahunnya dengan pangkat tituler mayor. ***

SUMBER TULISAN:
Koninklijk Bibliotheek-Delpher Kranten (De Sumatra Post 13 September 1939, dan Het Nieuws van den Dag voor  Nederlandsch-Indie 6 September 1939).
Google ebook (Gedenkschrift van den Oorlog op Java van 1825 tot 1830, Jhr.F.V.A.Ridder de Stuers, Amsterdam Johannes Muller, 1847).


Kamis, 03 April 2014

Misteri Kontrolir X van Ratahan



                           

 

                                                           Oleh: Adrianus Kojongian

 

 

 

 

 


Jalan di Pasan tahun 1870-an. *)



Saya penasaran siapa sebenarnya Tuan Kontrolir X yang kisahnya dimuat koran  De Locomotief 16 Februari 1893. Bagi orang Ratahan, Tombatu dan Belang, wilayah yang saat itu dibawah kontrol dan kekuasaan Kontrolir Belang, nama Kontrolir X pasti dikenal luas.  Cuma, karena itu adalah  kisah yang terjadi  seratus dua puluh satu tahun  silam, maka siapa adanya sang Kontrolir X pasti telah terlupakan oleh waktu, begitu pula dengan kisah tersebut.

Koran Hindia-Belanda terbitan Semarang tersebut sengaja melindungi nama baik ‘tuan’ Belanda. Tidak aneh, meski pemimpin redaksinya adalah seorang sarjana hukum, Mr.P.Brooshooft. Tidak seperti sekarang yang  berkode etik melindungi para korban, tapi justru mengungkap jelas identitas wanita-wanita asal Ratahan dan Tombatu yang dipermainkannya.  Di masa kolonial, memang, ada derajat dan jurang pemisah besar, tuan adalah para Hollander, dan hamba pribumi yang sekedar inlander.

Karena sudah lebih seabad, saya tidak menemukan catatan atau arsip lain apa pun berkaitan kisahnya. Apalagi, untuk  menemukan nama kontrolir yang berubah menjadi tokoh misterius. Saya mencarinya di berbagai mesin pencari internet, tapi tidak juga menemukannya. Akhirnya, sebagai langkah terakhir saya mencari arsip-arsip koran tempo dulu dari Delpher Kranten yang dikoleksi Koninklijk Bibliotheek. Koran-koran masa itu biasanya rutin memuat berita pembeslitan mutasi dan  lain sebagainya dari para ambtenar, kontrolir dan pejabat Binnelandsch-bestuur (BB) di Hindia-Belanda, bahkan juga pegawai bumiputera (Inlandsch-bestuur).

Di sejumlah koran Hindia-Belanda dan Negeri Belanda, yang terbit di dua dekade akhir abad ke-19, saya menemukan orangnya. Ternyata, sang kontrolir bernama A.J.W.Vermandel.

Dari berbagai koran terbitan sebelum dan sesudah tahun 1890-an ini, saya bisa melacak perjalanan karir Vermandel. Ia memulai dinas sebagai ambtenaar Binnenlandsch-Bestuur akhir tahun 1870-an atau awal  tahun 1880-an, dengan memasuki korps BB wilayah Jawa dan Madura.

Pangkatnya pertama adalah ambtenaar voor der burgerlijk dienst, diperbantukan di kantor Direktur BB di Batavia. Awal bulan November 1882, dari berita De Locomotief 11 November 1882 dan Java Bode 15 November 1882, dari ambtenaar rang dan titelnya menjadi Aspiran Kontrolir. Penempatannya adalah di Residensi Palembang.

Pangkatnya naik tahun 1884, ketika koran Java Bode 19 April 1884 menyebut Vermandel dibenum sebagai Kontrolir Klas 2. Namun, ada yang mengusik, Java Bode 23 April 1890 dan De Tijd Rabu 28 Mei 1890 mencatat kenaikan pangkat Vermandel baru terjadi di saat itu, ketika ia diposting di Keresidenan Manado. Anehnya dalam status pembeslitannya dari Direktur BB, ia ditunjuk (juga) Kontrolir klas 2, (bahkan) dari posisi ambtenaar.

Artinya karirnya di rentang waktu hampir enam tahun tersebut, mandeg. Tentu ada kejadian atau peristiwa yang menyebabkan karirnya mandeg.  Bisa jadi karena sanksi internal atas sesuatu sebab dan lain dugaan. Soerabaiasch Handelsblad 9 Mei 1884 memberi tambahan keterangan, bahwa kenaikan sebagai Kontrolir Klas 2 itu, dengan penegasan asalkan dengan diposting di Residensi Palembang. Kemungkinan besar Vermandel menolak penempatan tersebut, sehingga bukannya naik jabatan, malah pangkatnya diturunkan.

Tapi,dugaan tersebut terbantah, karena ternyata ia menerima penugasannya di daerah yang sekarang masuk Provinsi Sumatera Selatan itu. Koran Bataviaasch Handelsblad tanggal 19 Juni 1884 memuat berita penempatannya dari Residen Palembang. Kontrolir Klas 2 Vermandel diposkan di Bunga Mas, Afdeeling Lematang-Ulu, Ilir, Kikim dan Pasumahlanden. 

Suasana pedesaan Minahasa tahun 1900.*)
Tidak ada berita lain, sampai kemudian ia pindah ke Keresidenan Oostkust van Sumatra. Koran Java Bode 10 Agustus 1889 mencatat Vermandel sebagai Kontrolir Klas 2 ditempatkan di Afdeeling Labuan Batu, menggantikan Kontrolir Klas 2 G.Sieburgh.

Baru ketika ditempatkan di Residensi Manado yang saat itu dipimpin Residen Marinus Cornelis Emanuel Stakman, karir Vermandel terbilang cemerlang. Koran-koran di awal bulan Juli 1890, seperti Java-Bode 9 Juli, Bataviasch Nieuwsblad 9 Juli dan De Locomotief 12 Juli 1890, memuat pembenuman Vermandel  sebagai Kontrolir Klas 2 di Afdeeling Belang berkedudukan di Ratahan. Ketika menjabat di Ratahan ini, di mana peristiwanya terjadi, rang dan titelnya justru naik dari Klas 2 menjadi Kontrolir Klas 1 BB.


Tidak lama kemudian, jabatan Vermandel di Ratahan berakhir. Java Bode 28 Oktober 1891 memuat pengangkatan  Kontrolir Klas 2 J.N.Witteveen sebagai penggantinya di Afdeeling Belang. Rupanya, keluh-kesah masyarakat dan  tokoh-tokoh Pasan-Ratahan-Ponosakan dan Tonsawang membuat Residen Stakman, dan terutama para pimpinan BB di Batavia gerah, sehingga kemudian menarik Vermandel dari Ratahan.

Soalnya, satu bulan sebelumnya, yakni di bulan September 1891, Direktur BB di Batavia dalam kolom Officieele Berichten Java Bode 12 September dan juga De Locomotief 15 September  mengumumkan rencana mutasi Vermandel dan juga Witteveen dari Keresidenan Manado. Vermandel diposting di Residensi Zuider-en Oosterafdeeling van Borneo, sementara Witteveen di Gubernemen Sumatra’s Westkust.

Tapi, rupanya, rencana mutasi batal dilaksanakan, karena Witteveen justru kemudian ditempatkan di Ratahan memimpin Afdeeling Belang, sementara Vermandel tidak ada berita dikemanakan. Namun, besar kemungkinan ia dinonaktifkan.

Kabar Vermandel baru diberitakan De Locomotief 19 Januari 1892, ketika ia diberikan verlof dua tahun berlibur di Eropa. Usai cuti, berita Java Bode 23 Desember 1893 mengungkap kalau Kontrolir Klas 1 BB A.J.W.Vermandel, ditempatkan ulang di Residensi Oostkust van Sumatra, dan juga tempat dimana dulunya ia pernah bekerja, yakni Afdeeling Labuan Batu.

WITTEVEEN
Kontrolir Witeveen yang dimusuhi para kepala, tokoh masyarakat dan penduduk Pasan-Ratahan-Ponosakan dan Tonsawang karena tindakannya yang pongah, juga banyak datanya, meski sekedar penggalan-penggalan pembeslitan. Ternyata, dibanding Vermandel,  ia tergolong junior di korps BB Jawa dan Madura.

Witteveen datang ke Manado --diberitakan Bataviaach Handelsblad-- bertugas sebagai Aspiran Kontrolir di Afdeeling Manado. Posisi aspiran kontrolir itu baru diraihnya Januari 1891, setelah sebelumnya  Desember 1890 baru dijobkan sebagai ambtenaar diperbantukan pada Asisten-Residen Bandung.

Karir Witteveen terbilang mulus, bahkan naik sangat cepat dalam waktu singkat sekali. Sebab di bulan Oktober 1891 dengan rang dan titel baru sebagai Kontrolir Klas 2, ia dipercayakan memegang Afdeeling Belang menggantikan Vermandel.


Meski mendapat tentangan dan diusul Kepala DistrikPasan-Ratahan-Ponosakan  Estephanus Sahelangi agar diganti, ia seakan tidak tersentuh. Eeltje Jelles Jellesma Residen Manado yang baru menggantikan Stakman, tetap mempertahankannya.

Baru di bulan Oktober 1893, Witteveen dimutasi menjadi Kontrolir Klas 2 Kepulauan Sangir dan Talaud di Tahuna. Penggantinya di Afdeeling Belang ditunjuk Kontrolir Klas 2 W.A.Berkholst. Sanksi kepadanya mungkin adalah penundaan kenaikan rang dan titel. Witteveen meninggalkan Keresidenan Manado, seperti diberitakan Java Bode 2 Mei 1895, ketika dipindah ke Residensi Ternate, dan masih sebagai Kontrolir klas 2.

SAHELANGI
Keinginan Kepala Distrik Pasan-Ratahan-Ponosakan Estephanus Sahelangi agar distriknya dipimpin oleh seorang kepala bergelar Majoor dengan tongkat emas tidak pernah dipenuhi. Sampai distriknya digabung dengan Tonsawang dalam nama distrik Ratahan, tidak pernah ditunjuk seorang pun kepala bergelar Majoor, selain sekedar titel Hukum Besar.

Profil Kepala Minahasa dan keluarganya di tahun 1900. *)

Sahelangi yang memulai karir sebagai Hukum Tua, Hukum Besar Pasan-Ratahan, lalu Hukum Besar Pasan-Ratahan-Ponosakan, dipensiun sebagai Inlandsch Bestuur Mei 1898. Untuk pengabdiannya yang sangat panjang itu, ia diberikan penghargaan medali zilveren ster.
Rekannya, Kepala Distrik Tonsawang Samuel Momuat yang juga disinggung dalam pemberitaan, dipensiun, dan digantikan Manuel Rambi Januari 1895. Manuel Rambi adalah sepupu Estephanus Sahelangi.

STAKMAN
Residen Manado Marinus Cornelis Emanuel Stakman  yang keberatan dengan rapport Gallois meminta pensiun dari dinasnya sebagai pegawai BB dengan surat bertanggal 2 September 1892. Ia diberhentikan dengan hormat  terhitung  sejak tanggal 4 November 1892.
  
Stakman di masa tua. *)

Keberatan dan tanggapannya atas laporan tentang keadaan Minahasa oleh Gallois, berupa buku De Minahassa, bezwaarschrift, opgeman naar aanleiding van het rapport nopens den staat van zaken in de Minahassa, uitgebracht door W.O.Galloois, terbit di Amsterdam 1893.

SURAT A.B.WAWO-ROENTOE
Penempatan pengganti Stakman, yakni Residen Jellesma disambut baik, karena kemudian di Minahasa terjadi perubahan besar-besaran. Mantan Hoofddjaksa Land-of Minahassa-raad dan Kepala Distrik Sonder, pensiunan Majoor Albertus BernardusWawo-Roentoe sampai menulis surat terbuka di koran Soerabaiasch-Handelsblad 4 Maret 1896  yang memuji.





     *). Foto Koleksi KITLV Media Library dan Het Geheugen van Nederland.

SUMBER TULISAN
Koninklijk Bibiliotheek-Delpher Kranten (De Locomotief nomor 266 Sabtu 11 November 1882, nomor 159 Sabtu 12 Juli 1890, nomor 65 Selasa 14 April 1891, nomor 12 Selasa 19 Januari 1892; Java Bode nomor 270 Rabu 15 November 1882, nomor 93 Sabtu 19 April 1884, nomor 92 Rabu 23 April 1890, nomor 155 Rabu 9 Juli 1890, nomor 145 Kamis 25 Juni 1891, nomor 250 Rabu 28 Oktober 1891, nomor 212 Sabtu 12 September 1891, nomor 294 Rabu 21 Desember 1892, nomor 297 Sabtu 23 Desember 1893, nomor 100 Kamis 2 Mei 1895, nomor 25 Jumat 30 Januari 1891, nomor 289 Rabu 17 Desember 1890; De Tijd nomor 13025 Rabu 28 Mei 1890; Soerabaiasch Handelsblad nomor 108 Jumat 9 Mei 1884;  Bataviaasch Handelsblad nomor 145 Kamis 19 Juni 1884, nomor 31 Jumat 6 Februari 1891, nomor 241 Kamis 19 Oktober 1892; Bataviasch Nieuwsblad nomor 179 Rabu 9 Juli 1890).